Foto kolase karya @samudra
Semburat cahaya keemasan masuk melewati celah ujung jendela yang sedikit terbuka. Perlahan ku gerakkan lutut. Perih. Sakit menyeruak, menyusur ujung syaraf. Semua raga tergetar. Tanpa sadar Mulutku merintih melepaskan sengatan ngilu. Bekas operasi pengganti tempurung yang mulai keropos ini térnyata masih belum sembuh benar.
Ini, entah kali keberapa niat ku untuk bertemu dengan mu selalu tertunda. Selalu ada duka mengerubungiku ketika hasrat menggelora. Kali pertama ketika aku ingin menjumpaimu aku terjatuh dikamar mandi dan mesti operasi pengganti tempurung lutut. Setelah itu, aku kembali terus mencarimu. Hongkong, Dongguan, Guangzhou dan Makau. Pencarian terbaruku harus kembali pupus karena Akiong sakit. aku harus segera kembali pulang karena tidak ada yang menjaganya. Ini, kali kesekian setelah ku membeli tiket dan membereskan segalanya.
Bayang ku selalu dirimu. sewaktu masih belia kita selalu bersama. Cita mu untuk menjadi guru, penyemangatku untuk mengantarmu ke dermaga setelah terbitnya Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1959. Melepas kepergianmu ke negeri tirai bambu, asal nenek moyang kita. Harapanku, engkau kembali dan kita bersama menjalani asa seperti yang terpahat di kulit pohon kelapa dalam lingkaran hati cinta ada nama kita. Wo ai ni, Hok. Aku cinta kamu, Hok. Selamanya. Meski tiada pernah bisa kuutarakan bila kita bersama.
Sementara dirimu berjuang melanjutkan cita, diriku melanjutkan hidup. Bertahan dalam nestapa. Perantau ditempat kelahiran. Aku tidak mengerti,mengapa kita selalu menyebut tanah kelahiran ini sebagai tanah perantauan. Hanya warna kulit dan ujung mata yang membuat kita berbeda. Sesekali, kumandang bahasa ibu memberi warna. Sisanya sama. Kamu, aku, ibu, bapak, cici, koko, ai, ii, Aliong dan Ailing adalah sama dengan siapa pun di negeri ini.
Sejak kepergianmu, memang tidak ada kabar yang kuberitakan. Hanya air mata dan doa dikuatkan dupa, kukirimkan ke udara. Semoga aromanya menyeruak ke penjuru klenteng terus ke selasar jalan setapak, pojok rumah warga hingga menguap ke ujung langit. Aroma yang sama. Langit yang sama yang kita tatap sejak belia.
Langit yang kala pagi, siang hingga sore yang kita habiskan bersama di Sukabumi. Dipinggir pantai, tempat pertama kali kau kecup keningku. Langit yang sama ketika engkau rebahan di sisiku setelah seharian kita berlari, bercanda dan tertawa sesudah sesekali kita berenang menyongsong ombak.
Masih kah engkau ingat ketika kita berjanji akan selalu bersama. Masihkah engkau merasakan demburan ombak dan tiupan angin menggoyang samudera. Ditengah lautan, dengan bantuan pelampung ban karet kita berjanji akan mengarungi laut kehidupan ini hingga ke tepian.
Mimpiku ingin bersamamu tidak pernah luntur. Perasaanku selalu tumbuh dan terus berkecambah setelah kepastian tentang mu secara tidak sengaja kudapatkan dari Ai Lani. Ai Lani bercerita tentang perkembangan Quangzou yang pesat. Gedung gedung pencakar langit, pabrik megah, jalanan luas membentang, rumah sakit, sekolah tertata rapi.
“Ada kita yang dari Sukabumi sekarang menjadi kepala sekolah,” kata Ai Lani,sambil menggambit nakal tanganku seakan menegaskan bahwa kisah lama kita dulu mendapatkan restunya. Ai Lani bisa memastikan dirimu tetap menyendiri tanpa pengganti diriku.
Aku bahagia Karena ternyata engkau masih setia memegang janji kita bersama. Aku kecewa dan tak kuasa menghadapmu karena mesti engkau tahu aku telah mengkhianati mu.
Sepergi mu dari Indonesia, aku dan keluarga meninggalkan Sukabumi. Kata Babah, pemerintah larang kita orang jualan eceran di kampung. Kami semua, nah (ibu-red), babah, Sin hwa, Cung hwa menuju Jakarta. Babah melanjutkan usaha keluarga, dagang. Sementara aku, cita cita menjadi perawat tinggal kenangan. Babah berharap Cung dan Sin tetap bisa sekolah.
Usaha keluarga juga tidak memadai. Babah dan Nah bekerja lebih keras, agar kami semua cukup untuk bisa beli beras. Sepulang mengantar Sin dan Cung ke sekolah aku menemani babah di pasar.
Kehidupan pasar mengajarkan yang gigih dan kuat berusaha pasti memanen hasilnya. Dari awal, mengumpulkan buah sortiran yang boleh dipungut percuma, kemudian dijus dan diencerkan dengan air gula dicampur es. Minuman buat abang abang pasar.
Sepulang sekolah, Cung dan Sin juga turut membantu. Dagang jus keliling pasar. Agak lumayan ketika akhirnya kita bisa berteduh dan berjualan didepan toko buah milik kokoh Liem.
Agar uang tidak habis menguap, ku mencoba beli ajinomoto kalengan. Kadang sebulan menabung baru bisa beli satu kaleng dititip di babah Ahung. Kadang sebulan bisa tiga bahkan sampai empat kaleng. Tergantung cuaca. Lagi panas, laku banyak. Kalo hujan, tidak hasil apa apa.
Ketika sudah sampai delapan puluh kaleng, kokoh bilang tabungan ajinomotonyo udah banyak. Kalo tidak diambil, setahun bisa bonus lima. Tapi aku menolak. Tidak usah setahun lima, asal harga naik, saya boleh ambil dengan harga baru. Cien (uang red) lumayan untung.
Begitu, seterusnya. Tiap kali harga naik, ajinomoto dijual dengan harga baru ke toke lain. Hasil tabungan ini bisa menyewa toko dan memulai usaha kelontong peralatan rumah tangga. Usaha jus buah dilanjutkan Cung dan Sin sepulang sekolah.
Usaha kelontong rumah tangga bisa menjual apa saja. Bahan baku yang murah, asal bisa dibersihkan, dipoles dan dibungkus rapi bisa untung lumayan. Misal sapu lidi, dengan memesan langsung ke Sukabumi dan Bogor. Disana boleh ambil sepuasnya dan kalau pun beli tinggal diganti garam dan tembakau. Karena sudah langganan kadang setelah dapat sapu lidi, sapu ijuk kadang dibungkusin bonus nangka, pisang dan hingga beras.
Ongkos hidup juga sudah berlebih. Kasarnya, bisa untung dua tiga kali lipat. Sejak itu, selalu pegang cien. Hingga akhirnya babah, bubu yang ikut kita Cung dan Sin.
Kata babah, tidak baik anak perempuan sudah pegang usaha dan belum bersuami. Akhirnya aku menikah agar tidak memberatkan Babah dan Nah. Semua yang terlihat indah tidak selalu baik. Semua yang manis, akhirnya menjadi empedu. Pait.
Koko, tidak terbiasa pegang uang. Tidak terbiasa melihat isteri yang ikut membantu. Akhirnya dia kemakan omongan orang hingga malas ke toko dan ogah menemani belanja. Yang ada malahan minta uang buat rokok dan jajan diluar. Kalau tidak ada dikasih bikin kesel. Maunya ribut. Padahal di toko harus menjaga perasaan yang belanja.
Untungnya koko masih sayang sama anak anak. Dia bantu jaga rumah dan anak anak. Kehadiran Aguan, Ailing dan Akiong menjadi cambuk untuk terus mempertahankan dagang. Ketika mereka mulai makin bisa mandiri, tingkah Koko juga makin menjadi. Ada saja cerita kurang mengenakkan. Cerita kalah judi, main perempuan, ribut sama tetangga dan bahkan tidak pernah cocok sama saudara.
Uang ada, tapi caranya bikin ngelus dada. Sejak itu aku harus tegas. “Elu, boleh apa aja, mau judi, mau cari gundik terserah. Tapi jangan lu bawa kerumah. Mulai sekarang qua cuma kasih "ce tiao" sebulan. Mau lebih atau kurang itu urusan lu,” ujarku. Karena bagi orang kita, tidak kenal kawin cerai. “Rejeki usaha bagus, karena ada suami dan anak,” pesan Babah sebelum meninggal.
Orang pasar memang tidak pernah tahu sakitnya hidup berdagang. Kebanyakan tahunya dagang untung dan selalu jual mahal. Kadang rugi biasa, tapi yang penting selalu berupaya bertahan agar menambah pelanggan. Agar pelanggan biar bisa bertahan, harus kasih harga murah. Dagangan umum yang banyak pembelinya kalau perlu jual harga modal. Tapi dagangan yang tidak terlalu umum dan bahkan sulit didapat bisa dijual untung. Itu hukum yang berlaku di "pasar gelap" ini.
Sementara itu, kita juga harus mengenali pembeli. Untuk orang kantoran, kalau yang belanja bos harus diberi harga lebih mahal. Tujuannya biar pas anak buah belanja bisa diberi persenan.
Kalo tidak bisa berabe. Anak buah bisa belanja ke tempat lain walau bos taunya suruh ketempat yang biasa belanjanya. Tiap tahun baru, lebaran, natal dan imlek harus disiapin oleh oleh. Ini bukan hanya untuk saudara dan pelanggan. Tiap bulan tiap tahun ada saja yang minta, ang pao. yang bikin heran ngga ikut lebaran dan natal tapi tetap turut menyumbang. “untung gua gunung, kalo bukit udah rata kali karena harus bagi elu orang,” semprot aku kepada petugas hansip dan lingkungan yang keliling serahin proposal.
Prinsip dagang harus tetap dipertahankan. Meski sepanjang tahun, selalu ada ganjalan. Sekarang di penghujung usia 73, inginnya semua lancar. Ailing sudah berkeluarga, punya anak dua perempuan. Mulai dari lahir hingga mau kuliah tetap Popo yang biayai. Aguan tamat sekolah merantau dan punya bini di Australi. Kerja diperusahaan listrik. Tiap tahun mesti dikirimin agar bisa beli rumah. Sekarang sudah punya lima. Disewain. Taunya mantu, itu tumah punya lakinya. Padahal mama yang modalin.
Bila engkau disini dan melihat hidup ku, aku yakin engkau mengerti karena dirimu seorang guru. Seorang kepala sekolah yang selalu menjaga dan mendidik anak anak.
Selepas dirimu aku tidak tidak pernah sepi mengurus dan menjaga anak anak. Mulai dari jaga adik Cung dan Sin. Jagain anak Aguan, Ailing dan Akiong. Akiong yang sekarang hampir setengah abad, masih tetap belia. Kuberserah pasrah dalam capek dan mengantuk sepulang dari toko, Akiong kadang sering kena marah.
Sejak kecil Akiong harus dibantu dengan obat. Jika dia tenang, dia akan menulis apa saja di kertas dan bahkan dinding kamar, rumah bahkan kain tempat tidur. Bisa pensil, pena spidol dan arang sisa rokok dan obat nyamuk. Apa saja. Lelah menulis dia akan bercerita memainkan boneka dan memerankan berbagai tokoh cerita khayalnya.
Kadang cukup dengan jari dan bahkan terkadang kami berdua ber berbisik bisik memainkan dialog.
Meski lelah dan sangat sangat capek, bisa kupastikan tidak pernah Akiong kutinggal tidur sesudah ku terlalap. Selalu kupastikan dengkur halus dan wajah polosnya menjadi obat mujarab pengantar mimpiku menemuimu di ujung awan.
Kini, dalam sendiri ku terpuruk disini. Kupastikan segera kita bertemu. Kupastikan Akiong kembali ke nirwana, menungguku disana. Kupastikan dalam tidurnya, Akiong tidak merasakan sakit dan takut sepertiku meninggalkannya tanpa ada yang mengasuh. Menjaganya. Sepeninggalnya, aku pasrah menghadap Dewa. Abu ku dilarung ke laut setelah dikremasi sesudah maisong.
Hanya satu pintaku, Dewa jangan jemput aku sebelum mendapatkan maaf dari teman beliaku karena mengingkari janji yang pernah diikrarkan. Aku tidak muluk berharap bisa hidup bersama karena belum tentu cukup maaf darimu dan rentanya usia. Harapanku semoga setelah mati nanti aku bisa kembali lahir sebagai Sok yang mencintai mu, Hok, selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H