Mohon tunggu...
Tryas Febrian
Tryas Febrian Mohon Tunggu... Programmer - Complex

I love your writing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Orang Miskin Tidak Boleh Kuliah?

27 Mei 2024   15:03 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:23 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Time Higher Education

Yang Terhormat Kemendikbud,Saat saya kuliah dulu, aku cukup struggling dengan ongkos dan biaya kuliah. Cukup sedih mendengar pernyataan Tjitjik Srie Tjahjandarie, PLT Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier dan tidak wajib. Membuat saya cukup sedih karena pernyataan tersebut muncul ketika sedang banyak protes terkait mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Bapak dan Ibu Kemendikbud mungkin tidak tahu banyak mahasiswa yang tercekik oleh pinjaman online perkara tak sanggup bayar UKT. Detik menyitir laporan statistik penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi Otoritas Jasa Keuangan pada Desember 2023 tentang ini. Dalam laporan tersebut tertulis, tingkat gagal bayar atau macet pinjol di kalangan pemuda usia mahasiswa usia 19-34 tahun mencapai 292.818 rekening atau Rp730,03 miliar.

Mahasiswa yang katanya adalah agent of change di mana masa depan bangsa ada pada para mahasiswa, justru nantinya malah akan sibuk mencari cara untuk melunasi hutang untuk pendidikan. Bu Tjitjik memang menyampaikan pada saat konferensi pers, pemerintah akan memertimbangkan kembali biaya UKT sesuai panduan. Lalu kenapa harus menyakiti hati para mahasiswa dengan mengatakan kuliah tak wajib, Bu? Pernyataan itu justru bikin kami makin yakin, orang miskin memang tak seharusnya mengakses pendidikan. Pun, kenaikan UKT setinggi langit, memang sudah sewajarnya terjadi.

Apakah Benar Kuliah Pendidikan Tersier?

Definisi yang dipublikasikan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO), pendidikan tinggi masuk dalam pendidikan ketiga, atau tertiary education yang merupakan lanjutan dari pendidikan menengah, di mana mempelajari bidang-bidang khusus saja. Mengacu pada definisi tersebut, semestinya pendidikan kuliah tidak bisa diartikan pada tingkat kebutuhannya. Namun sebaliknya, kuliah disebut tertiary education karena secara hierarkis, tingkat pendidikan ini dilakukan setelah siswa menyelesaikan pendidikan menengah. Meskipun Indonesia memiliki standar wajib belajar 12 tahun, pendidikan tinggi sebagai tertiary education tetap sama pentingnya! 

Mengutip Laporan Pembangunan Dunia (2019) dari Bank Dunia, kuliah penting dan relevan di tengah persaingan tenaga kerja. Kuliah dalam banyak kasus juga menjadi cara untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Penelitian Goastellec berjudul "Higher Education, Welfare States, and Inequalities" (2017) menemukan, pendidikan tinggi terbukti bisa menaikkan kesejahteraan hidup seseorang. 

Tidak hanya itu, dalam kaitannya dengan perekonomian nasional, tingginya angka masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi, bisa mengerek pendapatan ekonomi. Jika tidak percaya silahkan baca riset "Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat" (2021) dari Sahbuki Ritonga. Artinya, pendidikan tinggi adalah jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi nasional.  

Berkaca dari hal tersebut, saya pikir sebagai pejabat di Kemendikbud, Ibu dan Bapak paham betul, pendidikan adalah hajat semua orang. Menyatakan pendidikan tinggi sebagai pilihan, sama saja dengan meniadakan tanggung jawab pemerintah dalam memastikan ada akses pada pendidikan. Sekali lagi, ini bukan sekadar tanggung jawab individu tapi juga amanat UUD kita. Aksesibilitas pendidikan yang merupakan hak warga negara, justru dipersulit apabila biaya kuliah terus naik. Pemerintah perlu intervensi untuk mempermudah urusan ini, bukannya menyulitkan. 

Maka dari itu, daripada Bapak dan Ibu repot denial terus jika beban biaya kuliah mahal, sebaiknya pemerintah segera berbenah menyusun kebijakan yang lebih baik. Dengan begitu, tak ada lagi kasus mahasiswa yang putus kuliah karena terjerat pinjol atau tak ada demo UKT mahasiswa yang mewarnai kampus-kampus. Membuat kebijakan tidak sama dengan memberi karpet merah pada pinjol resmi untuk bekerja sama dengan kampus! Tapi memastikan pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua bangsa, termasuk orang miskin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun