perempuan, kita pasti pernah menghadapi situasi sulit ketika membicarakan tentang konsep kecantikan. Gerakan feminis pada dasarnya bertujuan untuk memperjuangkan inklusivitas dan hak untuk memilih, dengan menghargai keberagaman perempuan tanpa memandang identitas atau penampilan mereka. Saat kita berupaya mempromosikan standar kecantikan yang lebih bervariasi, munculnya kampanye "semua perempuan itu cantik" telah menjadi sorotan. Saya melihat hal ini sebagai sesuatu yang kompleks.
Sebagai seorang pendukung hak-hakMeskipun saya memahami maksud di balik narasi yang mengajak perempuan untuk menghargai diri mereka tanpa terlalu memedulikan standar kecantikan konvensional, belakangan ini narasi tersebut tampaknya diartikan hanya sebagai respons terhadap relativisme, tanpa memberikan ruang bagi perbedaan pandangan. Meskipun kita menegaskan bahwa setiap perempuan memiliki kecantikan masing-masing, kita tidak selalu menyuarakan bahwa setiap orang memiliki kecerdasan, kebaikan hati, kehumoran, atau keahlian di tempat tidur. Ini karena kita menyadari bahwa setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda, dan pemberdayaan terjadi ketika kita menghargai perbedaan dengan orang lain.
Pertanyaan berikutnya, mengapa kita harus meninggalkan kampanye "semua perempuan itu cantik"?
Pertama-tama, saya merasa kampanye ini memiliki tujuan yang membingungkan dan kontradiktif. Jika semua orang dianggap cantik, maka konsep kecantikan menjadi biasa dan kehilangan makna khususnya. Kedua, narasi ini hanya berlaku pada tingkat individu, karena preferensi kecantikan bersifat subjektif dan dapat berbeda antarindividu. Namun, pada tingkat kolektif, ini dapat berubah menjadi standar kecantikan masyarakat yang tetap eksklusif. Kriteria tertentu akan tetap ada untuk menarik perhatian masyarakat.
Ketiga, alternatifnya dapat ditemukan dengan mengadopsi pendekatan yang lebih realistis, yaitu mempromosikan gagasan keunggulan komparatif. Beberapa orang dianggap cantik, sementara yang lain dianggap tidak, dan itu wajar. Beberapa orang mungkin merasa diberdayakan dengan mengikuti standar kecantikan, dan itu juga wajar asalkan keputusan itu dibuat secara mandiri dengan pertimbangan yang matang.
Mengatakan perempuan yang menyerah pada standar kecantikan arus utama sebagai perempuan rapuh, rusak, dijajah, dan dicuci otaknya, sama saja merendahkan dan mendikte mereka. Bagi mereka yang tidak cantik, mereka dapat berkembang menjadi sesuatu yang lain: cerdas, baik hati, pekerja keras, lucu, atau sifat apa pun yang juga dapat membuat mereka menonjol meskipun tidak diinginkan secara fisik. Cantik itu bagus, tapi bukan itu yang terpenting. Kecantikan seharusnya tidak menjadi parameter terpenting dalam menentukan siapa kita sebenarnya.
Pentingnya adalah untuk merenungkan motivasi di balik keputusan kita dalam mengejar konsep kecantikan. Apakah kita melakukannya untuk mendapatkan validasi eksternal atau karena kita memilih secara otonom untuk memahami dan merayakan keunikan tubuh kita?
Semua ini adalah pengingat, bukan hanya untuk pembaca, tetapi juga untuk diri saya sendiri. Jika saya adalah wanita dan saya menilai diri saya sendiri tak cantik, saya harus ingat bahwa saya tetap manusia yang berharga dan memiliki nilai, terlepas dari konsep kecantikan yang mungkin tidak selalu dapat dicapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H