Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka seni dan olah raga tetapi belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Penikmat tulisan, foto, dan video

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demonstrasi Berdarah September 2019 Akibat Deliberasi Publik yang Lemah

29 November 2019   03:08 Diperbarui: 29 November 2019   06:32 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua bermula dari demokrasi. Benjamin Barber berkata bahwa tidak ada legitimasi demokratis yang kuat tanpa diskusi yang berkelanjutan. Demokrasi itu sendiri mengacu pada kekuatan rakyat (power of people).

Istilah lama berbunyi 'Vox Populi, Vox Dei' artinya 'Suara rakyat adalah suara Tuhan'. Katanya, demokrasi bekerja paling baik ketika semua suara dapat didengar. Oleh karena itu keterlibatan publik (public engagement) diperlukan dalam pemerintahan yang demokratis.

Istilah musyawarah sudah berakar pada masyarakat Indonesia. Sejak penduduk-penduduk terdahulu mendiami nusantara, musyawarah selalu dilakukan dalam memutuskan sesuatu di berbagai kelompok masyarakat.

Namun kata 'deliberasi publik' (public deliberation) mungkin masih asing di telinga meski istilah ini kian umum digunakan dalam dunia akademis. Pengertian istilah yang kedengarannya keren di ilmu kebijakan publik ini pada dasarnya adalah sama dengan musyawarah yang nota bene urat nadi bangsa Indonesia.

Mengapa deliberasi publik penting?

Para ahli berpendapat bahwa partisipasi dalam forum musyawarah (deliberasi publik), konvensi, dan panel memiliki dampak positif pada sikap dan perilaku masyarakat. Gastil (2000) menyimpulkan bahwa dampak positif dari deliberasi publik adalah menghasilkan lebih banyak informasi dan penilaian reflektif, keberhasilan politik yang lebih besar, dan peningkatan frekuensi aktivitas politik.

Ada sebuah metode dalam praktik kebijakan publik yang disebut deliberative public engagement (keterlibatan publik yang deliberatif) yakni keterlibatan publik yang sengaja diselenggarakan.

Keterlibatan publik yang deliberatif adalah pendekatan khusus untuk melibatkan orang dalam pengambilan keputusan. Ini memberi orang waktu untuk berpikir, mempertimbangkan dan membahas masalah sebelum sampai pada suatu pendapat atau pandangan.

Menurut National Consumer Council (NCC), keterlibatan publik yang deliberatif memberi banyak pembuat kebijakan data yang lebih kaya tentang sikap dan nilai-nilai publik, menawarkan peluang untuk mengeksplorasi lebih banyak mengapa orang merasakan apa yang mereka lakukan, dan memberikan waktu untuk mengembangkan ide, opsi, dan prioritas dengan publik.

Untuk para pesertanya (publik), keterlibatan publik secara deliberatif menawarkan kesempatan untuk berbagi dan mengembangkan pandangan mereka satu sama lain dan langsung dengan para ahli dan pembuat keputusan.

Singapura, misalnya, menyelenggarakan "Dialog Singapura" berisi lebih dari 640 sesi dialog dengan warga Singapura untuk mengetahui pandangan mereka tentang kebijakan pemerintah. Beberapa rezim yang dikenal otoriter juga membuka ruang keterlibatan publik, seakan meniru kinerja dan karakteristik negara demokratis. Pemerintah Zimbabwe, Mozambik dan Tanzania mengajak kelompok warga dan organisasi masyarakat sipil untuk membahas dan menegosiasikan kebijakan terkait anggaran pemerintah. Ah, munkin karena negara-negara itu berpenduduk relatif sedikit? China yang berpenduduk terbesar di dunia juga punya "Kongres Rakyat Nasional" yang dilakukan untuk meminta pendapat publik tentang tagihan melalui lokakarya, audiensi dan jajak pendapat.

Kapan deliberasi publik dibutuhkan?

NCC mengutarakan bahwa deliberasi publik diperlukan ketika:

  • Pembuat kebijakan atau pembuat keputusan ingin mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan publik demi keputusan yang lebih kuat berdasarkan nilai-nilai publik.
  • Keputusan yang akan diambil melibatkan masalah yang kompleks, serperti menyangkut kepercayaan, nilai-nilai masyarakat atau pemahaman yang saling bertentangan.
  • Keputusan yang membutuhkan kolaborasi para partisipan untuk mengeksplorasi secara rinci beberapa kebijakan alternatif.
  • Pembuat keputusan tidak dapat mengimplementasikan suatu kebijakan tanpa peran publik.

Ada beberapa kondisi dimana deliberasi publik bisa berjalan dengan baik (Kettering Foundation, 2011):

  • Warga sadar akan masalahnya
  • Warga perlu dibantu untuk mengidentifikasi apa yang sangat berharga untuk dipertaruhkan dalam kebijakan tersebut
  • Keputusan belum dibuat pemerintah
  • Masih dalam tahap awal untuk menetapkan arah dan kebijakan
  • Masalahnya tidak terlalu luas alias spesifik

Tatap muka atau deliberasi online?

Teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser orang untuk berinteraksi secara daring (online). Mana yang lebih baik, deliberasi tatap muka atau secara online? Apakah kedua hal itu bisa saling menggantikan?

Menurut Gastil, sebuah tinjauan studi menunjukkan bahwa deliberasi tatap muka lebih efisien, lebih kohesif, dan lebih baik dalam menangani masalah kompleks yang memerlukan penilaian kualitatif. Namun demikian, deliberasi online dianggap lebih baik untuk penilaian kuantitatif dan bisa mengurangi pengaruh status sosial peserta individu.

Dalam diskusi tatap muka, interaksi yang terjadi lebih intens karena peserta dapat langsung berdiskusi dan merespons satu sama lain. Prosesnya juga lebih cepat karena peserta berkumpul pada waktu yang sama di tempat tertentu.

Berbeda dengan diskusi online yang prosesnya relatif lebih lama karena tanya-jawab atau argumentasi dilakukan melalui media komputer di mana peserta mungkin mengaksesnya pada waktu yang berbeda.

Kelemahan dari diskusi tatap muka adalah potensi keengganan peserta untuk mengeluarkan pendapat atau mempertahankan pendapat mereka karena pengaruh status sosial peserta lain. Kelemahan diskusi tatap muka ini menjadi kekuatan diskusi online, di mana status sosial peserta relatif tidak terlihat.

Pada perspektif lain, Kubicek yang mengamati enam proses konsultasi dan tujuh proses kolaborasi kemudian menyimpulkan bahwa diskusi tatap muka menghasilkan kontribusi yang lebih berkualitas dan lebih baik dalam mencapai kesepakatan.

Sementara diskusi online berhasil mendatangkan lebih banyak peserta dan pendapat karena prosesnya lebih praktis dan murah. Di samping itu, dalam diskusi online peserta lebih cepat mendapat dukungan dari peserta laing yang sepemahaman juga lebih mudah merubah opini.

Ada apa dengan demonstrasi mahasiswa pada September 2019?

Indonesia mengalami peristiwa yang memprihatinkan ketika demonstrasi besar-besaran para mahasiswa dan pelajar terjadi pada bulan September 2019. Aksi unjuk rasa itu berlangsung serentak di berbagai kota dan berakhir ricuh. Hal yang menyedihkan adalah jatuhnya dua korban jiwa dari pihak masyarakat.

Demonstrasi ini merupakan aksi penolakan lanjutan terhadap kebijakan pemerintah untuk mengesahkan RUU KPK dan RUU KUHP. Banyak pasal-pasal yang ditolak publik tetapi justru sudah disepakati oleh pemerintah dan legislatif.

Pemerintah dan DPR mengatakan bahwa deliberasi telah dilakukan bahkan sejak satu tahun sebelumnya. Tim yang dibentuk pemerintah dan DPR telah melakukan serangkaian diskusi yang sebagian besar digelar di kampus-kampus.

Mengapa para mahasiswa justru melontarkan alasan tidak mengetahui rancangan undang-undang tersebut dan menuduh pemerintah tidak melibatkan publik dalam penyusunannya?

Para mahasiswa yang ramai-ramai menolak kedua RUU tersebut adalah generasi milenial yang sehari-hari hidup di dunia cyber bahkan mereka lahir pun sudah di era internet.

Jika mereka mengaku tidak memahami alasan kuat pemerintah dan DPR untuk merubah kedua undang-undang tersebut dan terkejut dengan isi pasal-pasalnya, maka sangat wajar untuk disimpulkan bahwa deliberasi secara online tidak berjalan baik. Mereka mungkin tidak membaca koran atau menonton televisi, juga sangat mungkin tidak hadir ke acara dialog tetapi mereka selalu hadir dalam jaringan alias online.

Epilog

Keterlibatan publik yang deliberatif adalah tahap penting dalam proses pembuatan kebijakan pada pemerintahan modern dan demokratis. Proses deliberasi yang diajarkan di kampus-kampus ilmu pemerintahan dan dibahas di jurnal dan seminar internasional tak lain adalah musyawarah yang sudah ada di jiwa bangsa Indonesia, jauh sebelum negara republik ini berdiri. Para tetua-tetua kampung selalu mengadakan musyawarah jika ingin memutuskan sebuah perkara atau menjalankan aturan.

Setiap pembuatan kebijakan publik yang menyangkut nilai-nilai dan kepentingan masyarakat secara luas harusnya diawali dengan deliberasi publik. Bukan hanya untuk mendengar suara publik, tetapi juga memberikan pemahaman kepada publik akan hal-hal khusus yang mungkin kurang diketahui publik.

Diskusi secara tatap muka maupun online memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga keduanya harus dilakukan bersama-sama untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kesalahpahaman, tuduh-menuduh, dan penolakan yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk tujuan lain pun dapat diminimalisir.

"There can be no strong democratic legitimacy without ongoing talk" Benjamin Barber, 1984

______

Referensi:

Aicholzer, G, & Kubicek, H. (2016). Evaluating e-Participation. Public Administration and Information Technology, 19.

Gastil, J. (2000). Is Face-to-Face Citizen Deliberation a Luxury or a Necessity for Democracy?

Chadwick, A. (2006). Internet politics; states, citizens, and new communication technologies. England: Oxford University Press.

Naming and Framing Difficult Issues to Make Sound Decisions. (2011). A Kettering Foundation Report.

Rudra, N, & Chandra, S. (2015, April 2). How public deliberation helps economic stability. Washington Post.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun