Boy, anak kecil usia empat tahun susah sekali menghabiskan sayur di piringnya. Ibu kemudian membuat roti cokelat kesukaan Boy lalu memberi iming-iming jika Boy menghabiskan sayurnya, maka ia akan diberi roti cokelat kesukaannya itu.Â
Sebaliknya, jika Boy tidak menghabiskan sayurnya maka ia tidak akan diberi roti cokelat itu. Hasilnya, Boy menghabiskan sayur demi menikmati roti cokelat kesukaannya itu.
Kisah tersebut bukan khayalan melainkan pengalaman nyata dalam sebuah keluarga dan saya ambil sebagai analogi terhadap kebijakan publik.Â
Pada kebijakan publik, "membuat dan memberi iming-iming roti cokelat" adalah sebuah tindakan (output) dan "Boy menghabiskan sayur" adalah hasil (outcome) yang ingin dicapai oleh ibu, si pembuat kebijakan (policy maker).
Metode seperti itu sudah dilakukan manusia sejak zaman purba, yaitu membuat sebuah kegiatan  untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.Â
Misalnya seperti membuat peralatan untuk mempermudah perburuan hewan dan menemukan teknik pertanian untuk mendapatkan bahan pangan secara konsisten.
Model Logika
Ada sebuah istilah yang sering disebut-sebut dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dalam kebijakan publik, yakni model logika (logic model atau intervention logic).Â
Secara umum, seperti yang dikutip oleh Montano, logic model dimaksudkan sebagai alat dan proses untuk memahami dan memperjelas hubungan secara visual antara tindakan dan hasil yang diharapkan untuk suatu program.
Logic model digunakan pemerintah untuk memperkirakan rangkaian hasil yang dihasilkan oleh sebuah kebijakan dalam rangka mencapai dampak yang diharapkan. Hasil yang terjadi biasanya tidak hanya tunggal tetapi bertahap.
Sebagai contoh, untuk mengurangi peluang kecelakaan di sebuah jalan di pemukiman warga, diambillah sebuah kebijakan membuat polisi tidur (speed bump). Logic model yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut: