Dari model logika pada Diagram 2, dapat dilihat titik permasalahan kebijakan, yakni pada IMMEDIATE OUTCOME 2, INTERMEDIATE OUTCOME 2, dan ULTIMATE OUTCOME 3. Mengapa hal itu terjadi? Karena sejumlah masyarakat yang memiliki kendaraan diatas 1500CC ternyata tidak mampu membeli Pertamax. Kemudian, transportasi umum belum mampu memberikan kenyamanan, layanan rute, bahkan kapasitas untuk menampung penumpang yang beralih dari mobil pribadi.
Di tempat lain, orang yang tergolong mampu tetap mengonsumsi Pertalite karena dengan mudahnya memiliki mobil 1500CC ke bawah yang harganya juga tidak murah. Padahal rata-rata mobil hemat bahan bakar dan produksi tahun tinggi dilarang pabrikan untuk diisi Pertalite.
Ada penggunaan asumsi yang kurang tepat dalam pembuatan kebijakan ini. Asumsi bahwa pengguna kendaraan diatas 1500 CC merupakan orang yang berpenghasilan cukup sehingga mampu mengonsumsi Pertamax.
Faktanya, banyak orang yang membeli mobil berkapasitas diatas 1500 CC justru karena keterbatasan kemampuan finansial. Harga mobil ber-CC besar dengan usia di atas sepuluh tahun, pada umumnya, jauh lebih murah dibanding mobil ber-CC kecil dengan tahun yang lebih tinggi.
Contoh mobil 2000 CC seperti Honda CRV tahun 2005, Toyota Kijang tahun 2000, atau Ford Escape tahun 2005, harga pasarannya sekitar 60-70 juta rupiah. Sementara mobil 1500 CC seperti Avanza Veloz 2021, Mistubishi Expander 2021, dan Hyundai Stargazer 2022, harganya diantara 230-300 juta rupiah. Bahkan mobil 1000 CC seperti Toyota Raize pun berharga di atas 200 juta rupiah.
Artinya, banyak pemilik kendaraan 1500 CC kebawah yang merupakan orang mampu yang seharusnya mengonsumsi Pertamax. Sebaliknya, banyak orang yang kurang mampu terpaksa menggunakan mobil 2000 CC tetapi harus pula mengonsumsi Pertamax padahal konsumsi mobil 2000 CC justru lebih boros.
Dalam kondisi seperti ini, kriteria fairness (rasa keadilan) di masyarakat justru tidak terwujud. Sebab sangat mungkin terjadi dimana orang yang mampu justru membeli BBM bersubsidi sementara mobilnya hemat pula. Sebaliknya, besar kemungkinan orang yang tidak mampu diharuskan membeli BBM Nonsubsidi sementara mobilnya boros. Padahal, fairness adalah salah satu kriteria penting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan sebuah kebijakan publik.
Kesimpulan
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi BBM sudah tepat, mengingat harga minyak dunia yang terus naik. Bila tidak, beban APBN akan terus membengkak padahal subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang mampu.Â
Namun membatasi penggunaannya dengan pelarangan berdasarkan besar mesin mobil pada akhirnya tidak tepat sasaran karena besar mesin mobil tidak berkorelasi dengan tingkat kemampuan finansial pemiliknya.
Perlu dilakukan analisa lebih lanjut menggunakan theory of change, dimana dilakukan intervensi kebijakan lanjutan agar perubahan hasil (Outcome) yang terjadi tetap mencapai tujuan akhir. Namun jika perubahan Outcome tidak bisa diintervensi sehingga tujuan diperkirakan tidak tercapai, maka Output harus dibatalkan. Output dalam contoh kasus ini adalah kebijakan pembatasan BBM berdasarkan kapasitas mesin kendaraan.
Ada beberapa kebijakan alternatif untuk mengurangi beban subsidi BBM yang salah sasaran yang dapat dikaji lebih lanjut.Â