Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indonesia Belum Serius Sikapi KDRT?

9 Juni 2021   11:31 Diperbarui: 8 Desember 2022   09:29 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan (Sumber: deeepblue via regional.kompas.com)

Di negara-negara maju, terutama yang berbudaya barat, tindakan KDRT ditanggapi dengan sangat serius oleh Kepolisian. 

Saya ambil contoh di New Zealand yang kebetulan saya amati langsung saat tinggal di sana. Polisi muncul dalam sepuluh menit setelah menerima laporan KDRT. Halaman flat kami tiba-tiba dipenuhi mobil Polisi gara-gara tetangga yang berkelahi dengan pasangannya menelepon nomor panggilan darurat. 

Polisi memang melakukan langkah pendamaian terlebih dahulu namun jika dirasa memenuhi unsur pelanggaran hukum, mereka akan membawa pelaku KDRT ke kantor Polisi.

Kita lihat datanya. Sepanjang tahun 2020, ada 165 ribu penyelidikan kasus KDRT di New Zealand. Pada tahun 2021, 12 persen dari kasus yang disidang di New Zealand adalah KDRT. Dari semua kasus KDRT yang disidang, 52 persen dijatuhi hukuman.

Hukuman KDRT di New Zealand terbilang berat. Mencekik misalnya, diancam maksimal 2 tahun penjara. Mengancam membunuh, 7 tahun penjara. Memaksa menikah, 14 tahun penjara dan perkosaan bisa sampai 20 tahun. 

Hukuman ini lebih berat dari pada tindakan yang sama jika dilakukan terhadap orang lain yang bukan anggota keluarga. Perlakuan terhadap tersangka pelaku KDRT juga bisa diperberat dengan peniadaan hak jaminan penangguhan penahanan dan kontak dengan orang lain selama di tahanan menunggu persidangan.

Iklan layanan masyarakat tentang KDRT sering diputar di televisi dan media sosial. Pamflet dipajang di kantor-kantor dan tempat-tempat umum. Nomor telepon lembaga-lembaga perlindungan dan konselor tertera di pamflet untuk dihubungi jika dibutuhkan. Slogan mereka, "Family violence is not OK! Jangan segan melapor kalau Anda mengalami KDRT."

Hal yang menarik lagi, saya menemukan pamflet seperti itu di toilet pria di salah satu kota di New Zealand. Ditempel tepat di dinding di mana urinoir dipasang agar tidak mungkin terlewatkan saat buang air kecil. Wait, toilet pria? Iya, pria itu bukan hanya pelaku kok, tak jarang pria juga korban KDRT. Hak pria dan wanita harus setara, bukan?

Di Inggris, 1 dari 6 lelaki disinyalir menjadi korban KDRT. Di Amerika Serikat diperkirakan 1 dari 4 lelaki. Di Jerman, 20 persen kasus KDRT. Di New Zealand sendiri, 1 dari 4 lelaki melaporkan KDRT. Tebak siapa dari tetangga saya yang berkelahi itu yang menelepon nomor darurat? Ya, si lelaki.

Kisah-kisah inferioritas suami terhadap istri di Indonesia juga banyak, sering dijadikan guyonan malah. Kasus penganiayaan terhadap suami beberapa kali mencuat. Meskipun sebenarnya, KDRT bukan hanya tentang aniaya fisik melainkan juga siksaan psikis.

Pamflet di toilet pria di New Zealand (Dokpri)
Pamflet di toilet pria di New Zealand (Dokpri)
Dampak KDRT

Banyak fakta menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami eskalasi jika dibiarkan. Dimulai dari kekerasan lisan, meningkat ke pemukulan, hingga berlanjut pada penganiayaan yang jika tak terkendali bisa menyebabkan kematian. Kita belum menghitung kekerasan seksual yang hampir tidak pernah dilaporkan dengan alasan tabu, malu, atau diterima sebagai kodrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun