COVID-19 telah memukul sendi-sendi perekonomian di seluruh dunia sejak awal tahun 2020 lalu. Betapa tidak, ketakutan akan penularan ditambah kebijakan pembatasan sosial dan imigrasi di berbagai negara telah menutup jutaan bisnis.Â
Setiap bisnis memiliki rantai supply-demand yang saling berkaitan dengan usaha lain, belum lagi menghitung efek penggandanya (mulitiplier effect). Dampak terhadap ekonomi pun menjalar dengan cepat, tak berbeda dengan transmisi virus SARS-Cov-2 itu sendiri.
Pertumbuhan ekonomi negatif
IMF (International Monetary Fund) telah memprediksi 95 persen negara-negara di dunia menderita pertumbuhan ekonomi negatif. Amerika Serikat, contohnya, diproyeksikan mengalami penurunan sebesar 4,27 persen.
Jepang, minus 5,27. India, Inggris, Portugal dan Italia berkisar minus 10 persen. Sementara Spanyol mencapai minus 12,83 persen dan Peru minus 13,94%. Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia, menurut Statistic Times adalah minus 4,36%.
IMF menyebut ekonomi dunia tahun 2020 lebih buruk dari depresi 1929 dan krisis finansial 2008. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan tingkat pengangguran dunia mencapai 9,9 persen pada akhir tahun 2020. PBB mengatakan lebih dari 71 juta orang masuk ke jurang kemiskinan ekstrim. Sementara Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan 132 juta orang menderita kelaparan (Warta Ekonomi).
Meski Indonesia dituding kewalahan menangani penyebaran wabah COVDI-19 namun di sisi ekonomi, Indonesia termasuk baik menahan dampaknya. Hal ini terbukti dari kontraksi ekonomi Indonesia yang termasuk kecil dibanding negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergolong "lumayan" di kisaran minus 2,2 persen hingga minus 1,7 persen.
Kebijakan untuk tidak lockdown dan menutup perbatasan menjadi salah satu faktor yang mempertahankan putaran roda perekonomian, selain angka kematian akibat COVID-19 yang berada di bawah empat persen (Kompas).
Tantangan pemulihan ekonomi
Pemulihan ekonomi dunia masih menatap jalan panjang, tak terkecuali Indonesia. Kapasitas ekonomi Indonesia diperkirakan masih berjalan separuhnya di tahun 2021 ini.Â
Menurut Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, sektor keuangan dan sektor riil pada tahun 2021 masih berjalan 50% sehingga pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak akan mencapai target pemerintah yakni sebesar 5 persen atau prediksi Bank Dunia sebesar 4,4 persen.
Keberhasilan vaksinasi adalah kunci pemulihan ekonomi dunia ke depan. Vaksinasi di Indonesia diperkirakan memakan waktu sekitar 1,5 tahun yang berarti hingga pertengahan tahun 2022. Sementara secara global bisa memakan waktu hingga 3,5 tahun.
Stabilitas kesehatan, UU Cipta Kerja, program pemulihan ekonomi diakui Menteri Keuangan, Sri Mulyani, sebagai tantangan pemulihan ekonomi Indonesia di samping antisipasi terhadap munculnya varian virus COVID-19 yang baru.
Logikanya, stabilitas kesehatan akan meningkatkan produktivitas masyarakat. UU Cipta Kerja dan program pemulihan ekonomi kemudian menstimulasi dunia usaha dengan iklim investasi yang lebih baik, pemberian insentif dan dukungan terhadap UMKM.
Jikapun program pemulihan ekonomi berhasil dijalankan, keberadaan virus COVID-19 sendiri tetap menjadi faktor dominan bagi pemulihan ekonomi nasional. Apakah vaksinasi berjalan sesuai harapan, baik hasil maupun durasinya? Apakah tidak muncul varian baru dari virus SARS-Cov-2 setelah varian B.1.17 yang muncul di Inggris?
Ketidakpastian ini yang menjadi tantangan terberat dalam pemulihan ekonomi dunia termasuk Indonesia. Bermacam program pemulihan pada akhirnya akan berantakan jika persoalan utama, yakni virus SARS-Cov-2 itu sendiri, tidak teratasi atau malah bermutasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H