Chelsea digugurkan VAR saat menjamu Manchester United di Liga Primer Inggris 18 Februari 2020. Satu karena pelanggaran di kotak penalti dan satunya lagi karena offside. Â Hasil akhir, United unggul dua gol tanpa balas.
Dua golArtikel kali ini bukan tentang United ataupun Chelsea, tetapi tentang teknologi VAR yang sudah menghadirkan kegelisahan, setidaknya di Liga Inggris. Kegelisahan yang mengalahkan kegembiraan saya akan tiga poin yang diraih Solskjaer dan pasukannya malam itu.
VAR adalah singkatan dari Video Assitant Referee. Sebuah teknologi video yang digunakan untuk meninjau putusan wasit di olahraga sepak bola.
VAR dimasukan dalam proyek Refereeing 2.0 pada awal 2010-an, di bawah arahan Asosiasi Sepak Bola Belanda (KNVB). Sistem ini diuji selama musim 2012/13 di Eredivisie, liga sepakbola tertingginya Belanda.
Pada tahun 2014, KNVB mengajukan petisi kepada Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB) untuk mengubah hukum permainannya agar sistem tersebut dapat digunakan selama uji coba yang lebih luas. Akhirnya VAR resmi dicantumkan dalam Laws of The Game (aturan permainan) oleh IFAB pada tahun 2018.
Liga Australia menjadi liga profesional pertama yang mengimplementasikannya di tahun 2016, kemudian disusul turnamen internasional seperti Piala Konfederasi 2017. Liga Primer Inggris sendiri baru menggunakannya di musim kompetisi 2019/20 ini.
Teknologi VAR dihadirkan di sepak bola sebagai respon terhadap miliaran bahkan triliunan protes sepanjang sejarah sepakbola tentang pelanggaran yang luput dari penglihatan wasit dan penjaga garis. Dua handsball fenomenal yakni "tangan Tuhan" Maradona di tahun 1986 dan Henry di tahun 2009 mungkin termasuk isu yang mendorong penerapan VAR.
Tetapi VAR kelihatannya menjadi lelucon tak lucu di sepakbola, terlebih melihat penggunaannya di Liga Inggris. Niatnya, tayangan ulang ditunjukkan untuk menjelaskan kepada penonton mengapa keputusan VAR diambil. Asas transparansi ingin dikedepankan di sini.
Tetapi menjadi lelucon ketika banyak tayangan ulang justru mejelaskan bagaimana keputusan VAR tidak masuk akal. Berikut beberapa alasan mengapa cara kerja VAR dianggap kekonyolan.
Pertama, sepakbola olahraga yang menggunakan lapangan berukuran besar. Lapangan sepakbola minimal memiliki panjang 100 meter dan lebar 64 meter. Cukup besar untuk disaksikan manusia dengan mata normal.
Berbeda dengan bulutangkis dengan teknologi Hawkeye-nya. Lapangan bulutangkis yang relatif kecil dengan bola yang juga kecil dan melaju sangat cepat membuat para pengadil sulit mengawasinya. Kecepatan shuttlecock bulutangkis menurut situs Olimpic bisa mencapai 493 km/jam sementara kecepatan bola di sepakbola hanya 210 km/jam dengan ukuran yang jauh lebih besar dari shuttelcock.