Jika dua orang penjaga garis dianggap kurang cermat, harusnya bisa ditambah seperti di olahraga bulutangkis yang menggunakan sepuluh orang. Penggunaan empat penjaga garis di sepakbola sebenarnya sudah dimulai di Liga Europa 2009/10 dan Liga Champion di musim berikutnya, juga di liga domestik beberapa negara. Tetapi ternyata kehadiran mereka dianggap belum cukup.
Kedua, sepak bola adalah olahraga fisik yang memacu adrenalin sehingga menciptakan emosi. Momen gol adalah puncak emosi dalam sepakbola sehingga tak heran pemain kerap meluapkan emosinya dengan berbagai aktrasi dan penonton berteriak kegirangan sejadi-jadinya.
Lalu VAR datang dan membuat semua orang menahan reaksi puncak itu gara-gara menunggu pengecekan rekaman video selama 1-2 menit. Pemain dan penonton baru boleh bersorak-sorai gembira setelah hasil VAR keluar. Sebuah peristiwa yang aneh dan konyol.
Ketiga, aspek psikologis sangat berpengaruh dalam sepakbola. Tak jarang kondisi moral sering menjadi faktor penentu hasil pertandingan. Sepakbola adalah permainan yang cenderung berkelanjutan. Sebisanya mengurangi interupsi atau restart selama permainan berlangsung.Â
Buktinya, jika terjadi pelanggaran ketika tim yang dilanggar sedang mendapat keuntungan, permainan tidak dihentikan wasit karena alasan momentum. Pemain yang diganti pada menit-menit terakhir juga dipersilakan wasit untuk keluar lapangan dengan segera. Ini juga atas alasan momentum.
Ya, momentum memang sangat penting. Seperti ketika sedang mengejar ketertinggalan skor atau mendapat keuntungan dari kepanikan lawan. Terlebih di saat waktu normal hampir berakhir. Kehilangan momentum bisa merubah segalanya.Â
Lalu VAR datang dan merusak momentum-momentum tersebut. Ketika permainan dihentikan untuk memeriksa VAR, posisi pemain sudah berubah, energi dan kondisi otot-otot sudah berubah, tingkat adrenalin sudah berubah dan emosi pun berubah.
Keempat, aturan yang dianut VAR tidak masuk akal. Hanya ujung sepatu yang berada didepan sepatu lawan tidaklah signifikan sebagai faktor offside yang merugikan jalannya permainan. Pemain yang terjatuh karena berusaha menghindari tabrakan atau lengan yang diangkat ketika duel udara tidaklah layak dianggap tindakan curang plus keganjilan-keganjilan lainnya.
Tetapi VAR hanyalah elektronik yang sayangnya tidak disempurnakan oleh kecerdasan manusia yang punya kebijaksanaan, yaitu wasit.
Meski aturan IFAB membolehkan wasit untuk mengabaikan VAR tetapi setelah video ditayangkan di layar raksasa stadion, tampaknya wasit nyaris tidak pernah menolak hasil VAR.
Masuk akal memang, karena penolakan wasit atas hasil VAR bisa menimbulkan kekisruhan saat pertandingan. Padahal di versi VAR mula-mula, wasit terlebih dahulu melihat layar monitor yang ada di pinggir lapangan baru mengambil keputusan.