Mohon tunggu...
Bergman
Bergman Mohon Tunggu... -

A dreamer who likes writing

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kapal Danau Toba, Kisahku dan Kisahmu

20 Juni 2018   16:11 Diperbarui: 11 Juli 2018   16:08 2743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa sadar langit semakin menghitam. Angin terasa semakin kencang dan kapal terombang-ambing di atas air danau. Karena mesin tidak hidup, kapal terasa lebih goyang saat diterpa ombak. Banyak kasus kapal terbalik dihajar ombak karena kondisi mesin yang mati.

Sepuluh menit pertama semua penumpang masih tertawa dan saling bersenda gurau, berpikiran bahwa kapal tak lama lagi akan melanjutkan perjalanan. Hingga kemudian ombak semakin tinggi dan kapal semakin oleng, kami pun mulai merasa khawatir. Mesin kapal belum juga berhasil dihidupkan.

Para awak tampak bingung dan memutuskan untuk menanti bantuan. Namun tanpa radio komunikasi, bantuan yang diharapkan itu hanya berupa kapal yang lewat. Sementara kami tampak sendiri di tengah danau.

Salah seorang kru menjawab pertanyaan takut kami, “Nanti orang akan melihat kita tidak bergerak-bergerak, pasti mereka akan datang mendekat untuk menanyakan kondisi kita.”

Astaga... begitu mekanisme penanggulangan keadaan darurat? Batinku. Ayah dan saya mulai cemas. Berapa lama waktunya hingga orang menyadari bahwa kami tidak bergerak? Sementara angin semakin kencang meniup air danau sehingga gelombangnya semakin tinggi.

Beberapa kali kapal miring ke satu sisi, kru kapal pun berteriak-teriak agar posisi penumpang terutama yang berada di lantai atas diseimbangkan di bagian kiri dan kanan. Rupanya karena hendak melihat sesuatu di satu sisi, anak-anak berkerumun pada satu sisi yang menyebabkan kapal miring.

Pada masa itu telepon seluler masih jarang digunakan dan kapal tak dilengkapi radio komunikasi, pun tanpa flare gun (pistol suar) untuk memberi tanda SOS ke langit. Kami mutlak sendirian meski nun jauh tampak satu-dua kapal kecil. Kabut mulai turun.

Hari menjelang senja. Angin kencang menampar-nampar dan ombak menggertak-gertak badan kapal yang mengapung pasrah diayun-ayun.

Dalam suasana yang semakin tegang, setengah berbisik ayah saya berkata, “Kamu bisa berenang, kan? Paling tidak mengapung. Biar Papi selamatkan adikmu, jika terjadi sesuatu.”

Darahku berdesir. Aku lupa apakah aku menjawab pertanyaannya waktu itu atau tidak. Karena perasaanku menangkapnya bukan sebagai sebuah pertanyaan, tetapi sebuah reaksi kecemasan yang tak tertutupi dan aba-aba untuk kondisi terburuk.

Apakah kapal ini akan terbalik? Apakah kami harus berakhir seperti ini?Hatiku menjerit. Ya, saya bisa sedikit berenang, tapi itu di kolam renang! Di tengah danau yang bergelora ini, entah saya bisa bertahan mengapung lebih dari lima menit atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun