Mohon tunggu...
Bayu Bergas
Bayu Bergas Mohon Tunggu... -

Pemalas dan menyebalkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tiga Cerita Picisan

9 Juli 2010   08:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:59 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_189381" align="alignleft" width="300" caption="Foto: Bayu Bergas"][/caption] Cerita Satu: Martabak Entahlah, kenapa pula malam itu kita terjebak di balkon gedung dekat velodrome. Bukan tempat yang kubayangkan untuk sebuah pertemuan yang hangat. "Martabaknya enak," kataku sembari terus mengunyah "Coklat dan kacangnya pas," komentarmu mengiyakan "Kenapa kau pilih yang manis?" tanyaku "Gak tahu... Rasanya lebih pas demikian," jawabmu sekenanya "Lebih pas bagaimana?" "Ehhhhmmmm... Kita." "Hah?" "Iya! Kita!" "Manis, pas, kita?" cepat-cepat kau mengangguk Entahlah. Kupikir kau terlalu mengada-ada. "Maksudmu... Kau ingin bilang bahwa pertemuan kita ini..." "Iya, bodoh! Sudah tentu!" lalu kau tertawa seolah-olah memenangi sebuah teka-teki. "Eits!" Dengan cepat kau rebut sigaret yang hendak kubakar. Damn! "Ohhh... Come oooon!" protesku "No," kau berkeras Aku tak bangkit dari duduk. Mungkin karena tak terlalu ingin pula membuka perdebatan denganmu malam itu. Apalagi, ini bagian paling klasik yang tak pernah berujung pada pendapat-pendapat serius. Kau melemparnya dan melongok, mengamati detik-detik ia bakal menghempas tanah. "Hehehehe..." lagi-lagi seperti menang. "Ehhmm..menurutmu pertemuan kita ini... manis?" alihku "He ehh.." ( h e n i n g ) Terdengar nafasmu mendekat. "Kau tidak sependapat?" "Akhhh... Pertanyaan bodoh hari ini!" rutukku "Lantas kenapa mengulang pertanyaanmu?" Aku diam. Senyum. Tanganku melingkari pinggangmu. Kau pun bergegas merapat. Kita terdiam. Gedung-gedung menyala ramai. Kendaraan melintas tak henti-henti. Warung tenda berserakan. Suami, istri, anak kecil gendut, melintas. Sopir bajaj turun memesan sesuatu di ujung sana. Taksi membunyikan klakson bertubi. Penjual martabak termenung sendiri. "Eh.. Ke mana?" "Martabak,"jawabku "Kan masih..." "Itu versimu..." "Maksudmu?" Tak kupedulikan. Turun. Kau mengejar "Maksudmu?" Berhenti. Menoleh padamu. Tersenyum "Apa arti senyummu?" Akkhhhh... Kita kan gurih, Andriani!* -------------------------- [caption id="attachment_189383" align="alignleft" width="300" caption="Foto: Bayu Bergas"][/caption] Cerita Dua: Kwitang Kau menawar "Conversations with Difference" seperti ibu-ibu ngotot selisih 100 perak untuk seikat kangkung. Satu jam. Satu jam lebih kau merayu lelaki setengah baya itu di Kwitang. Buku GM yang belum tergenggam olehku, kau perjuangkan meski itu hanya versi Inggrisnya. Seakan-akan urusan hidup dan mati. Tidak, tidak... Aku tidak memperhatikan buku itu akhirnya. Aku melihatmu yang bersemangat, meski peluh jam 11 siang membuat wajahmu berkilauan dan sedikit memerah. Kau membantingnya, "Enam ribu!". Si penjual tergelak, menggeleng. Aku menghela nafas. Antara tak sabaran, geli, senang, kepanasan. Dan sebatang Gudang Garam kembali pungkas. Kutarik lenganmu halus, "Sudahlah, ayo..." Bukan kamu kalau tak keras kepala. Kau naikkan limaratus. Akhhh! Mampus aku. Si penjual rupanya jengah juga. "Limabelas dah!" dan kau mencibir keras-keras sembari menaikkan limaratus, lagi. Hmmmm... Makin tak sabar aku. Ibukota panas tak kepalang dan kau ngotot setengah modar. "Sebelas deh, bang!" celetukku. "Nggak! Nggak!" potongmu cepat, lalu menyorongkan muka ke arahku, "Diem!" Hhhhhhh... Kau menimang-nimang sejenak, lalu menurunkan nada suara, "Sembilan setengah! Deal!" Kini muka si penjual nampak sekali kelelahan. Bercampur gemas dan mangkel. "Iya deh!" jawabnya pasrah. Buku masuk ke tas dan kita kembali menyusuri jalanan. Namun tak ayal aku kena dampratmu. Ya...ya..ya... Aku menangkap maksudmu: Jangan mencampuri urusan ibu-ibu, bukan?!* ----------------------------- [caption id="attachment_189388" align="alignleft" width="300" caption="Foto: Bayu Bergas"][/caption] Cerita Tiga: Lampu "Apa kamu juga merasakan, lampu besar di seberang jalan itu sedang mengamati kita?" Andriani tersipu, tahu aku sedang menggodanya. Tersenyum ia dan berkata setengah berbisik, "Aku bahagia seperti ini denganmu." Bah! Padahal di Pondokgede waktu itu jauh dari sempurna. Lewat tengah malam dan kita kelaparan tak kepalang. Kubilang,"Baksonya pakai pengawet. Rasanya aneh." "Iya, kalian sama anehnya!" katamu sambil mengacung-acungkan bakso di garpu dekat ke mukaku. Kita tergelak. Lampu besar itu padam 1-2 detik secara beruntun. Kutahu itu semata-mata aliran listrik yang tak beres. Tapi bukankah itu momen kita? "Hey! Dia berkedip pada kita. Memberi isyarat bahwa kita akan baik-baik saja. Kalau dia ada tangan, tentu akan dia tunjukkan jempol." "Isyarat tersembunyi ala lampu!" suaramu sedikit melengking, mengiyakan. Tapi lantas kamu tersadar, "Akhhh, kamu mengada-ada. Kamu dan bakso ini memang sama anehnya." Aku memilih tertawa, mengikutimu. Meski sebenarnya saat itu kuingin bilang: "Kamu lebih aneh, merasa bahagia bersama orang aneh..." * (Jakarta - Purwokerto, Jelang Pernikahan Andriani. Semoga bahagia.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun