Tidak banyak orang pergi ke kota di kampung ini. Sebaliknya, malah sebagian yang pernah merantau memilih kembali ke desanya lagi. Soalnya, di kampung mereka telah tercipta rangkaian kerja yang harmoni. Alhasil, seluruh warga desa saling sokong menghidupkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di kampung mereka ini. Semuanya hidup dari kayu.
Butuh setidaknya 40 menit dari pusat kota Yogyakarta untuk sampai ke desa ini. Tetapi perjalanan ke sana dijamin tidak akan membuat bosan. Jalan yang naik turun dan berkelok di punggung pegunungan menyajikan pemandangan nan elok memanjakan mata. Itulah Temuwuh di Kecamatan Dlingo, Bantul. Inilah kampung hampir semua warganya secara turun-temurun hidup dari bertukang kayu. Kayu adalah produk desa yang menghidupi setiap helaan nafas mereka selama ini.
Mereka bertukang karena tanah kampung mereka tak memungkinkan mereka hidup bertani, terlalu banyak bebatuan dan kurang air. Akhirnya warga ini sejak puluhan tahun lalu memilih hidup sebagai UKM, mengolah kayu dari pepohonan jati yang dahulu kala banyak bertumbuhan di sini. Jangan heran jika deru alat serut dan talu suara paku menjadi musik 24 jam di sana. Uniknya, semua warga terlibat dalam ritme pekayuan ini dengan pekerjaan yang berbeda-beda.
Besarnya kebutuhan bahan baku kayu membuat sebagian penduduk memilih mendatangkan kayu gelondongan dari luar daerah. Usaha itu lalu dilanjutkan sebagian lain yang memilih mengolah gelondongan menjadi lempengan-lempengan siap pakai. Lainnya lagi memilih menjadi pemodal yakni mereka yang menyiapkan modal untuk membeli bahan baku dan menyerahkannya pada warga yang memilih menjadi penggarap alias pembuat produknya. Hanya butuh satu hari untuk menghasilkan satu daun pintu siap cat di kampung ini.
Setelah produk kasar selesai dibuat, sekelompok ibu-ibu mengambil tugas menggosok produk itu menjadi siap jual atau istilahnya finishing. Setelah halus, sekelompok anak muda akan menawarkan diri untuk menjualnya ke kota. Mereka mengangkut daun-daun pintu itu dengan mobil bak terbuka dan menawarkan keliling kampung perkotaan, perumahan dan pemukiman warga kota lainnya. Jangan salah, jangkauan pasar mereka dari Banten hingga Banyuwangi. Begitulah waga desa ini menghidupkan rantai UKM mereka, guyup dan penuh harmoni.
Kini mereka sedang melakukan konsolidasi untuk mencari cara agar bisa mendapatkan sokongan modal dari lembaga yang lebih lunak dari bank. Soalnya, selama ini ada banyak warga yang kehilangan tanah akibat tidak mampu mengangsur pinjaman bank-nya. Di desa ini harmoni terwujud nyata dalam pembagian kerja ini. Hebatnya, anak-anak muda di kampung ini memilih melebur dalam kelompok-kelompok kerja itu tanpa perlu pusing mencari pekerjaan di kota.
Baca Juga : Berbagi Rejeki di ‘Carpenter Village’
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H