Jadi terpikirkan... Tidakkah ada persahabatan tulus diantara kaum berjubah dan awam? Apakah semua cinta yang mereka punya harus berakhir dalam perkawinan? Apakah para Romo atau Pastor itu tidak boleh mengagumi seorang perempuan? Apa yang dicari saat mengenal seorang Romo? Betulkan jubah itu memang "senjata" paling dasyat untuk mempertunjukkan karisma mereka?
Bersamaan itu pula, saya sedang sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan buku tentang bahasa Sansekerta serta senang juga main ke taman di Balai Kota Bandung. Tempatnya sejuk dan tenang. Membuat banyak angan dan pikiran bertebaran. Beberapa puisi yang mendadak begitu menyerbu di kepala yang seringnya juga menyelipkan kata-kata baru dari dua buku dewa itu.
Ada keindahan tak terkira.
Apalagi ketika saya duduk di bangku panjang itu. Kalimat nanp puitis itu seperti menyerbu tanpa permisi.
Luar biasa sekali.
Hingga saya tekadkan untuk mencoba menulis. Apa pun yang ada di kepala dalam bentuk tulisan tangan. Kala itu komputer yang saya punya belum update, jadi daripada 2x menulis, mending nanti sekalian pas seanggang saya pindahkan ke komputer kantor.
Dan, entah berapa lembar tulisan itu saya lakukan di bangku panjang taman kota Balai Kota Bandung tersebut. Diantara angin sepoi atau daun berguguran. Membuahkan bahasa romantis yang kemudian menjadi salah satu ciri khas dari novel pertama saya itu.
Tentang Renjana
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H