Perayaan Ekaristi bagi umat Katolik bermakna sangat dalam. Bukan semata sebagai salah satu dari kewajiban serta tertulis dalam 5 Perintah Gereja, tetapi juga dalam Ekaristi kami bisa bertemu Sang Pencipta langsung dalam latunan doa-doa dan pujian. Peristiwa ini bisa menggetarkan sanubari paling dalam apalagi saat kekeringan itu menimpa disela jenjang kehidupan tak henti.
Ekaristi sendiri berasal dari kata eucharistein yang artinya ucapan terima kasih kepada Allah. Â Ekaristi juga adalah Perjamuan Tuhan, yang memperingati perjamuan malam yang diadakan oleh Kristus bersama dengan murid-murid-Nya. Perjamuan ini juga merupakan antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba di surga.
Selain itu, Perayaan Ekaristi juga merupakan sebuah perayaan persekutuan Gereja. Konsili Vatikan II memandang bahwa perayaan Ekaristi "menampilkan secara konkret kesatuan Umat Allah,yang oleh Sakramen Mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan dengan mengagumkan". Maka dari itu, inti dasar dari Sakramen Ekaristi adalah kesatuan, persekutuan dengan Tuhan dan dengan semua umat beriman.
Tak heran, karena hal tersebut  ada umat yang sangat rajin ikut perayaan satu ini bahkan dalam kondisi yang mungkin sulit sekali pun seperti saat ini.
Saat pandemi melanda dunia, salah satu bagian kehidupan yang harus segera dicari alternatif untuk kelanjutan kehidupan selanjutnya adalah kehidupan menggereja, termasuk tentang tata cara Perayaan Ekaristi yang mau tak mau harus mengikuti semua kondisi. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), melalui para Uskup yang ada di semua provinsi Gereja Katolik Indonesia, memberikan kebijakan kepada masing-masing keuskupan untuk menyesuaikan segala kondisi ini. Intinya sama, supaya mementingkan kesehatan dan keselamatn umat.
Maka, tak lama setelah kebijakan itu dimunculkan, perayaan persekutuan umat itu pun harus berubah bentuk. Yang semula bisa tatap muka langsung dalam sebuah gereja, berganti tatap muka tidak langsung melalui media internet.
Ternyata ini menimbulkan kegaduhan baru. Bukan hanya dari sisi teknologinya saja, atau tata gerak yang mau tidak mau harus disesuaikan. Terlebih lagi jika berhubungan dengan kondisi tempat atau usia umat di rumah yang pasti beragam. Tidak mungkin harus terus mengikuti tata gerak yang biasa karena segala keterbatasan itu.
Namun, lebih dalam dari itu, ternyata kondisi alih-alih demi kesehatan dan keselamatan memunculkan kerinduan tak dapat terbendung. Kerinduan akan persektuan dengan Allah dan umatNya dalam sebuah Perayaan Ekaristi yang hikmat di gereja. Terutama rasa rindu mendalam boleh menyantap tubuh Kristus dalam bentuk roti (hosti) yang sudah diberkati. Belum lagi, dalam dua tahun ini menjalani masa pandemi ini, kami melewatkan 2x Hari Raya Paskah (dengan rangkaian ritualnya yang tidak hanya sehari) dan Hari Raya Natal. Dua Hari Raya yang sangat berarti dan bermakna bagi kami.