Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ... karena menulis adalah berbagi hidup ...

saya perempuan dan senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa FB/Youtube : Anjar Anastasia IG /Twitter : berajasenja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Si Sandal Jepit Idola

28 April 2021   16:31 Diperbarui: 28 April 2021   16:40 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ditanya benda apa yang membuat saya suka sebel, salah satunya adalah sandal jepit di kantor. Bukan karena harganya, tetapi karena tiap kali ada sandal jepit di kantor, biasanya usianya nggak akan lama. Bukan juga karena cepat rusak, tetapi karena seringnya dipinjam untuk tidak kembali. Alias diambil orang.

Wah, maling sandal?
Bukan.
Ini lebih karena banyak mahasiswa yang paling sering minjam, dengan alasan lupa maka sandal itu tidak akan kembali. Kalau pun kembali, pasti dengan rentang waktu yang lama sekali atau malah saya sudah lupa pernah dimintai izin untuk membolehkan sandal jepit itu mereka pakai.
Kejadian begini tidak cuma sekali, tetapi berulang. Tidak hanya dari merek terkenal sebagai merek sandal jepit itu, tapi dari segala merek, dengan segala ukuran.

Kalau sudah begitu, yang repot adalah saya.
Dari rumah ke kantor, jelas saya menggunakan sepatu. Biar bagaimana karena "judul"nya ngantor, ya saya tetap harus resmi juga dalam tampilan. Sesampai kantor, baru bisa sandalan. Selain praktis bisa membuat leluasa kemana-mana, juga karena nggak ribet kalau mau ke WC atau dari ruangan ke ruangan. Kantor saya sudah terbiasa lepas alas kaki tiap kali masuk ke ruangan yang ada. Maka, keberadaan sandal jepit memang penting.

Jika si sandal jepit ini dipinjam, biasanya saya memnimalisir kemana-mana. Malas juga kalau harus lepas pasang sepatu. Yah..., terpaksanya nyeker saja. Itu pun jika cuaca sedang cerah, tidak hujan.. Kalau hujan, jangan coba-coba nyeker karena licin.

Si sandal jepit yang kadang kemana-mana dan dipinjam banyak orang ini, pengembaraannya kadang tidak terditeksi. Bahkan pernah sampai ke luar kota sebab yang meminjam lupa bahwa alas kaki ayng dia pakai sebenarnya pinjaman. Beberapa bulan kemudian baru kembali lagi. Sudah begini, rada sirik juga saya pada si sandal jepit. Bisa keluyuran kemana-mana dalam waktu yang kadang lama. Saya yang membeli dan memiliki pun belum tentu sudah sampai tempat itu.

Sekali waktu, seorang mahasiswa melihat kebutuhan akan keberadaan sandal jepit ini memang sangat urgen. Ia pun membelikannya. Khusus buat di tempat ia sering nongkrong itu.
Bukan hanya buatnya saja, tetapi ia perkenankan juga untuk dipinjam teman-temannya. Mereknya juga sama dengan yang biasanya dimiliki banyak orang.
Sejak ia beli itu, paling baru 2-3 kali dia pakai. Sisanya dipinjam teman-temannya.

Hingga satu hari, sandal jepitnya yang terhitung baru itu mendadak berubah menjadi sandal jepit bulukan.
Warnanya sudah pudar, bentuknya pun sudah menipis di bagian sisi-sisi atasnya.
Padahal beberapa hari sebelumnya sandalnya itu masih terlihat jelas barunya.
Masih bersih dan mulus juga.

Oleh karena hal itulah, maka di satu masa itu, saya beri nama sandal jepit saya yang baru dibeli.
Meski sempat diejek dan dianggap pelit, biarin saja. Daripada hilang entah kemana.
Pokoknya sandal baru ini aman. Nggak rugi juga sudah bela-belain beli.

Memang aman sih... Ada nama saya di situ. Siapa berani?
Tapi...Sandal itu tetap menjadi idola banyak orang.
Sering dipinjam dengan iming-iming akan segera dikembalikan.
Segera dikembalikan juga...
Hanya saja, kalau sandal itu bisa menghitung dan bersuara, mungkin dia akan bilang kepada peminjam selanjutnya, "Anda adalah peminjam ketigaratus empat puluh tujuh. Jangan lupa dikembalikan setelah dipakai."

Memang nasib sandal idola.
Setelah semua kejadian ada yang minta sandalnya dulu sebelum dibawa aparat, bisa jadi bakal mahal harganya. (anj21)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun