Bermula tahun 2018 lalu ketika semua pemilik nomor HP harus registrasi ulang dengan menggunakan nomor NIK dan KK. Kebetulan, sejak e-KTP saya ada, tidak dibarengi dengan terbitnya KK. Tiap kali saya tanyakan mengapa tidak bersamaan, sementara yang lain bisa bersamaan, selalu ada saja jawabannya. Formulir habis, pengurusnya ganti, ketua RT/RWnya sedang berhalanagan dll.
Februari 2018, saya beranikan langsung saja ke Kecamatan setelah mengisi formulir pendaftaran KK yang lebar dan banyak sekali data yang harus diisi. Setelah diterima petugas, dijanjikan seminggu kemudian akan selesai.
Seminggu setelanya saya kembali ke Kecamatan. Di sinilah semua dimulai.
Petugas yang menerima saya sebelumnya tidak mendapatkan KK yang saya butuhkan. Dia bahkan bertanya kepada semua rekannya di sana. Kebetulan sedang ada petugas disdukcapil yang berkunjung ke sana. Saya dipanggil dan segera ditanya yang berhubungan dengan sejarah dan status kependudukan saya.
Dari sini ketahuan bahwa nama di surat keterangan kelahiran beda dengan nama di semua dokumen termasuk E-KTP saya. Surat keterangan lahir yang keluar pada tahun 1980 itu memang tidak berubah datanya bahkan ketika saya dibaptis tahun 1983. Tapi, ternyata setelah dibaptis itu, semua dokumen saya menggunakan nama tambahan baptis hingga kini. Hal inilah yang dipermasalahkan oleh pihak disdukcapil. Ada ketidaksesuaian data.
Ketika ditanya mengapa bisa terjadi demikian, saya juga tidak tahu. Umur dimana tahun-tahun dua dokumen kehidupan saya keluar itu adalah umur dimana saya masih kecil dan menurut saja atas apa yang dilakukan bapak ibu atau pihak lain yang berhubungan. Sempat ditanyakan mengapa tidak diantisipasi setelah dewasa dan tahu bahwa hal itu tidak boleh? Sejujurnya, saya tidak sampai kepikiran sampai sana. Sebab tiap kali mendaftarkan sesuatu dengan menggunakan dokumen tersebut, tidak ada masalah. Termasuk saat memiliki KTP pertama kali dan seterusnya.
Yang beberapa kali menjadi masalah justru nama "Ganjar" saya yang berdampak dengan pilihan jenis kelamin. Entah keberapa kali dokumen harus dibetulkan sebab tertulis di sana, jenis kelamin saya laki-laki. Padahal setelah nama "Ganjar" ada nama "Ayu" yang menujukkan bahwa si pemilik nama perempuan.
Setelah kejadian di Kecamatan tersebut, saya diminta ke disdukcapil untuk menyelesaikan masalah sebab memang pihak sanalah yang bisa memutuskan. Ketika ke sana, kondisinya sama. Saya ditanya sejarah kenapa hal itu bisa terjadi sampai pada kesimpulan bahwa harus ada ketetapan pengadilan jika mau menggunakan nama baptis sebagai pelengkap nama yang tertera di akte.
Sempat merasa sedih, bingung dan tidak harus bagaimana. Kebetulan akte saya dikeluarkan di Tanjungkarang sebagaimana tempat kelahiran saya. Sementara sudah lama hingga kini saya memegang KTP Bandung. Petugas disdukcapil menyatakan tidak masalah kalau pengadilan yang mengesahkan adalah pengadilan di Lampung. Tetapi, karena KTP saya sudah Bandung, sebaiknya memang diselesaikan di Bandung saja.
Saya masih gamang. Lalu mencoba cari info apakah ada alternatif lain menyelesaikan masalah ini selain melalui pengadilan? Selain ada keengganan berurusan dengan institusi tersebut, ada juga rasa takut "dikerjain" jika saya selesaikan sendiri. Belum terpikirkan menggunakan jasa pengacara sebab saya pikir saya nggak akan mampu membayar jasa seorang pengacara.
Selama kurun waktu setahun itu saya rajin mencari info segala alternatif agar masalah nama saya itu kelar. Selain supaya dokumen saya bisa berkesesuaian, juga agar kelak nggak ada masalah lagi jika mendaftarkan sesuatu yang berhubungan dengan dokumen. Saya sempat merasa juga bahwa kesalahan ini bukan karena saya atau keluarga saya yang melakukan. Ada peran insititusi juga yang menjadikan hal ini bisa terjadi.
Dari pencaharian itu ternyata satu-satunya cara adalah tetap melalui keputusan pengadilan. Itu berarti mau nggak mau saya harus berani ke pengadilan. Meski sudah ada teman yang mau menemani, tetap saja bayang-bayang pengadilan yang seram itu sedikit menjadikan langkah saya maju mundur.