Seminggu ini, rakyat Indonesia dihadapi dengan sebuah berita menyedihkan atas meninggalnya ibu negara ke-6, Ibu Ani Yudhoyono. Berita kematiannya seketika menggantikan segala bentuk berita lain yang sempat begitu memenuhi jagat berita di berbagai media. Kesedihan atas kepergiannya  memenuhi relung sukma bukan hanya bagi keluarga yang ditinggalkan, namun juga kita rakyat Indonesia yang pasti mengenalnya.
Rasanya belum terlalu lama berita beliau sakit dan harus dirawat lalu ada berita cukup menggembirakan ketika beliau diperbolehkan berjalan-jalan sebentar ke luar ruang penyembuhannya. Harapan besar atas kesembuhan beliau sangat menyeruak dalam diri siapa saja yang sudah menyertakan beliau dalam doa dan semangat. Sang Empunya hidup ternyata berkehendak lain, Ibu Ani dipanggil kembali kepadaNya, di hari-hari menjelang datangnya hari kemenangan atas puasa sebulan penuh. Tentu menjadi kesedihan sendiri ketika pada hari kemenangan itu tiba, seperti ada sosok yang hilang. Tak kan pernah kembali.
Atas segala kesedihan itu, rasanya sangat wajar sekali bila keluarga Bapak SBY terlihat begitu sedih dan terpukul. Orang yang sangat dikasihani harus berpulang di hari-hari yang ternyata justru sudah sempat disiapkan kehadirannya oleh Ibu Ani alm dengan membeli seragam keluarga.
Berulangkali kamera atau foto di media menunjukkan kesedihan keluarga tersebut melalui raut muka serta titik air mata yang jatuh begitu saja dari mata. Baik, Pak SBY, Agus dan Ibas terlihat sangat kehilangan dan bersedih akan kepergian istri serta ibunda tercinta. Demikian juga keluarga dekat lainnya.
Namun, sebenarnya apakah laki-laki yang sedang bersedih atas sebuah kejadian boleh menunjukkannya dengan membiarkan tetes air mata itu jatuh di pipi dan bahkan terlihat publik? Bukannya ada semacam ungkapan bahwa anak laki-laki itu tidak boleh menangis?
Seorang adik datang pada saya dan mengungkapkan kesedihannya atas sebuah peristiwa yang mengingatkan dia pada orang tuanya yang sudah meninggal. Setelah ia puas mengungkapkan semua, tiba-tiba menarik nafas dan wajahnya jadi berbeda. Saya rada heran. "Kamu kenapa?"
"Aku ingin menangis, Mbak..," jawabnya rada terbata-bata.
"Menangislah."
"Nggak bisa."
"Lho, kenapa? Bukannya sekarang kamu sedang menahannya?"