Mohon tunggu...
Benydictus Siumlala Martin
Benydictus Siumlala Martin Mohon Tunggu... -

Would you please write some notes, critiques, or anything you have in mind right after you write my writing? I would appreciate it.\r\nThank you very much...happy reading

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pot Kecil Berisi Bunga Tulip Biru

12 Agustus 2013   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah agak lama tidak kulihat lagi dirimu, dan entah kenapa hari ini aku tiba-tiba mengingatmu. Bayang-bayangmu tiba-tiba saja melompat masuk ke kepalaku entah dari mana, dan aku tercenung, melihatmu dimanapun mataku mengarah. Aneh, aku masih saja ingat semua tentangmu. Aku ingat hobi skateboard mu, juga semua judul cerita-cerita pendek yang kamu buat, yang pernah kubaca. Aku juga ingat bunga kegemaranmu, tulip, dan harus berwarna biru. Betapa kamu jarang sekali mengulas senyum, tapi ketika kau menggoresnya, aku tak dapat membayangkan hal lain yang lebih indah daripada itu, goresan senyum dari bibir pucatmu.

Sembilan tahun, dan tiba-tiba saja kamu melompat masuk ke kepalaku. Dan keinginan untuk mencari satu pot kecil berisi bunga tulip berwarna biru pun datang lagi. Sebenarnya keinginan itu tidak pernah hilang, selalu ada di sini, hanya saja aku berusaha sangat keras untuk menguburnya, tapi tak pernah kubuang. Sekarang aku tinggal di kota terbesar di negara ini, dan aku kira menemukan satu pot kecil berisi bunga tulip bukanlah hal yang sulit. Maka kubuka laptop, mencari apakah ada orang yang menjual kembang khas negeri Belanda itu. Pasti ada, karena kota ini adalah kota terbesar di negara ini. Dan aku tak butuh waktu terlalu lama, tiga puluh menit, dan ada seorang penjual barang online yang mampu menyediakan apa yang aku butuhkan. Segera kuhubungi orang itu, dan dia berjanji akan mengirimkan barangnya padaku besok.

Tapi, ah, buat apa aku melakukan hal itu? Padahal, empat dari sembilan tahun hidupku itu kugunakan untuk berpindah-pindah kota, berganti-ganti pekerjaan, sekedar agar aku bisa mencari sesuatu untuk mengubur bayanganmu. Empat tahun dan empat kota, hampir aku bisa memendammu jauh di dalam, tapi hari ini tiba-tiba keinginan itu datang lagi, keinginan untuk memberikan satu pot kecil berisi bunga tulip biru padamu. Bodohnya aku, aku mengira semudah itu, mengira hanya dengan menikmati kemacetan dan banjir yang tidak punya kata berhenti di kota ini aku pasti dapat melupakanmu. Bodohnya aku karena mengira rutinitas robot ini akan dapat memendam dirimu. Kamu terlalu hebat, kamu terlalu sempurna. Lalu, usahaku akan menjadi sia-sia? Mengirimkan satu pot kecil berisi bunga tulip berwana biru padamu, dan membuka semua hal tentangmu yang telah lama kukubur?

***

Pot kecil berisi bunga tulip berwarna biru itu telah sampai ditanganku. Hari sudah malam, dan kotak kecil berisi pot kecil itu di meja. Kupandangi kotak itu, dan perlahan sekali kusayat, sangat perlahan. Kubuka, dan kukeluarkan pot kecil berisi bunga tulip berwarna biru yang ada di dalamnya. Aku bukan penggemar bunga, dan jika bukan karena kamu, bagiku bunga ini tak akan mempunyai beda dengan bunga-bunga lain yang pernah kutahu dan kulihat. Bahkan bunga lain yang kata orang abadi itu pun akan perlahan layu, mati, dan membusuk, tak ada bedanya dengan bunga tulip berwarna biru yang ada di depanku ini. Semua akan layu, mati, dan membusuk. Tapi sudah sembilan tahun, dan bunga tulip berwarna biru ini tidak pernah membusuk, tidak peduli seberapa keras aku berusaha untuk membunuh dan menguburkannya.

Kuhempaskan tubuh di busa tipis tempatku tidur setiap malam di rumah kontrakanku, tapi mataku tak bisa lepas dari pot kecil berisi bunga tulip biru yang ada di meja di depanku ini. Apakah aku akan memberikannya padamu, atau apakah aku akan memeliharanya saja, agar aku selalu bisa mengingatmu, orang yang membuatku menghalalkan segala cara hanya agar tak ada orang lain yang dapat memilikimu selain aku. Bodohnya aku, aku malah lari, tapi masih marah, amat sangat marah ketika aku mendengar ada orang lain yang berusaha mendekatimu. Aku sangat marah, selalu sambil membayangkan bagaimana aku kedua tanganku mencengkeram leher pria itu, kemudian ketika pria itu kehabisan udara, kutikam dadanya dengan sangat perlahan, agar dia dapat menikmati rasa sakit yang selama sembilan tahun ini masih kunikmati.

Baiklah, aku akan mengirimkan bunga ini padamu. Tidak, tidak, aku tidak akan mengirimkannya, aku akan mengantarkannya sendiri, pot kecil berisi bunga tulip biru ini kepadamu. Aku akan mengantarkannya dengan tanganku sendiri, dan setelah itu aku akan pergi, pergi sejauh mungkin dan tidak akan pernah kembali untuk melihatmu. Aku harus punya hidup baru, hidup robot dengan rutinitas kota besar yang membosankan. Tapi tidak apa, asalkan bayanganmu mau keluar dariku, itu sudah lebih dari cukup. Besok aku akan berangkat, ke kota di mana semua ini dimulai.

***

Aku dengar kamu bekerja di tempat ini, dan di sinilah aku, berdiri di depan gapura indah tempat kerjamu. Aku jujur, aku masih sangat bimbang apakah aku akan masuk dan memberikan pot kecil berisi bunga tulip berwarna biru ini kepadamu, atau apakah aku akan berbalik, menuju ketempat di mana aku dulu biasa berusaha melupakanmu dengan menenggak minuman keras. Ah, aku akan masuk. Maka kumantapkan niatku dan kulangkahkan kakiku masuk, ingin menemuimu.

Aku lihat kamu duduk di meja kerjamu dari jauh, dan kudekati kamu. Kamu tidak menyadari kedatanganku. Pelan aku letakkan pot kecil berisi bunga tulip berwarna biru itu di mejamu dan mencoba tersenyum semanis mungkin, walaupun aku tidak akan pernah punya senyum yang manis, tidak dengan deretan gigi seperti ini. Kamu terdiam, menatapku. Aku menunggu senyummu, senyum yang pernah membuat indah semua yang ada dalam hidupku. Senyum yang mampu menghentikan jalannya sang waktu. Aku balas menatapmu, dan mata kita bertemu. Aku masih saja diam tidak berkata, menunggu datangnya senyummu, saat pria itu datang, dan langsung memberikan kecupan di keningmu. “Udah jam setengah enam, pulang yuk?” kata pria itu sambil membelai rambutmu. Ah, membelai rambutmu, sesuatu yang tidak pernah aku rasakan, sembilan tahun...

Kamu masih diam, kamu tidak menjawabnya, kamu juga tidak mengatakan apapun padaku. Aku marah, aku amat sangat marah. Seringai pria itu, pria yang mengecup keningmu dan membelai rambutmu itu membuatku mual. Seringai itu menghantuiku, dan aku menjadi semakin marah...

***

Aku duduk diam di dalam kegelapan sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek kegemaranku. Dia bangun, dan secepat kilat dia menyadari bahwa dia sedang berdiri dengan tangan terikat ke atas, terikat sangat kuat. Dia mencoba berteriak, tapi aku tahu tidak akan ada yang mendengarnya. Tempat ini sangat terpencil, rumah terdekat berjarak hampir tiga kilometer. Semua sudah selesai baginya. Kupandangi tubuh kekar yang ternyata penakut dan mudah panik itu, dan pelan-pelan kudekati. “Siapa kau! Siapa! Tolong aku, lepaskan aku!” teriakannya melebur ke dalam kesenyapan malam. Pisau di tanganku berkilat sendu, dan ujung matanya menangkap kilatan pisau yang kupegang. “Jangan...jangan kau....apa yang...agggghhhhh!!” Kutaruh ujung pisau itu di dadanya dan kutekan pelan, hanya pisau itu terlalu tajam, sehingga pisau itu tetap masuk perlahan menembus dagingnya. Sampai tiba-tiba tusukanku terasa agak berat, mungkin kena rusuknya. Kutambah tenagaku, dan kudengar suara tulang rusuk terpotong. Pisau itu tampak sudah nyaman berada di dalamnya, dan kulepaskan gagangnya sejenak. Kuputari tubuhnya yang terengah-engah dan berdarah-darah.

“Jangan...jangan...jangan bunuh aku....aku mohon...,” bodoh, dia masih saja memohon agar aku melepaskannya. Mana mungkin kulakukan itu setelah dia mengecup keningmu? Setelah dia membelai rambutmu? Mana mungkin! Kutaruh tanganku di lehernya dan kucengkeram kuat-kuat. Mulutnya terbuka dan bola matanya berbalik sehingga hanya warna putih yang terlihat. Tidak sampai dua menit, dan dia melemah, kepalanya tertunduk. Kulepaskan tanganku, dan kupegang lagi gagang pisau yang menancap di dadanya. Kutekan, makin dalam, makin dalam, sampai detak jantungnya berhenti...

Dan aku terbangun, aku terengah-engah. Sial, mimpi gila, apa yang kupikirkan? Kutangkupkan kedua telapak tangan di wajahku, dan aku menarik nafas dalam-dalam. Untung hanya mimpi, batinku. Kulihat di sebelah kananku, tubuh cantikmu yang sedang tertidur. Ah, kamu memang cantik, tak peduli seberapa berantakan rambutmu. Kubelai rambut berantakanmu, dan kudekatkan wajahku ke wajah tidurmu. Kukecup keningmu.

Dan aku terbangun. Sudah jam lima pagi. Saatnya untuk menjalani rutinitas robot kota besar...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun