[caption id="attachment_308137" align="aligncenter" width="275" caption="Ilustrasi: umarfaruk.com"][/caption]
Sungguh menggelikan melihat beberapa politisi Indonesia dalam perguliran bursa capres dan cawapres. Adalah orang-orang yang dengan mantap mengikrarkan kecintaan dan komitmennya untuk ikut ambil bagian di dalam pembangunan bangsa, bahkan dengan berani mendeklarasikan diri sebagai tokoh yang layak menjadi pemimpin bangsa tercinta.
Bursa capres dan cawapres sejak dibukanya lembaran politik memang menjadi topik yang dinanti dan dibahas di kalangan masyarakat. Sejak kampanye pemilihan legislativ ketika partai-partai mengusung calon-calon wakil rakyat, diam-diam setiap kubu mempersiapkan diri untuk mengusung bakal capres dan cawapres. Bahkan ada yang sudah langsung mendeklarasikan calonnya dengan percaya diri ketika kampanye untuk legislativ belum dibuka.
Akan tetapi ketika pemilihan anggota DPR dan DPD usai, masyarakat semakin mudah menebak-nebak arah politik selanjutnya. Yang pasti pasangan bakal capres-cawapres yang lahir secara prematur, ternyata tak berusia lanjut, yaitu WIN-HT dari Hanura. Perkiraan selanjutnya diarahkan pada empat partai dengan pengumpulan suara terbanyak dalam pileg yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, serta Demokrat. Masing-masing partai tersebut sebelumnya sudah menggadang-gadang calon yang akan diusung, PDI-P kemungkinan akan mengusung Megawati atau Jokowi yang selalu disuarakan oleh rakyat. Di kubu Golkar ada Aburizal Bakri, Gerindra sudah sejak lama dan hampir pasti mengusung Prabowo, sedangkan Demokrat sedang mengadakan konvensi yang menguji sebelas orang bakal calon. Tentu tak bisa dilupakan PKB yang cukup deras menggadang Rhoma Irama atau Mahfud MD sebagai bakal calon yang akan mereka usung.
Perjalanan selanjutnya semakin mengerucut ketika Megawati akhirnya merestui Jokowi menjadi calon presiden dari partai moncong putih. Komunikasi juga mulai terbangun antar partai, saling cocok mencocokkan visi dan misi, membangun kesepakatan dan menimbang sepasang jagoan yang diharapkan bisa membawa kemenangan dalam pemilihan. Ada yang mudah menemikan chemistry semisal PDI-P yang menggandeng Nasdem. Gerindra bertemu dengan PPP meski sempat terjadi tarik dan ulur, pro dan kontra, namun akhirnya bersatu juga.
Saling pinang dan meminang layaknya mencari pasangan hidup ternyata susah-susah mudah. Ada satu hal yang paling menentukan, persatuan dua partai ternyata sangat dipengaruhi oleh siapa yang akan dipasangkan dengan siapa. Utusan partai menjadi calon presiden atau wakil presiden menjadi sebuah kunci untuk mencapai kata sepakat untuk koalisi. Masyarakat benar-benar dibuat penasaran dan gelisah menunggu siapa yang menjadi pasangan Jokowi, Prabowo, Rhoma, Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Ical. Para pemimpin yang nama dan kapabilitasnya diakui.
Dalam hal inilah gejolak dan kepemimpinan seorang pemimpin benar-benar diuji. Ketika Prabowo akhirnya resmi berpasangan dengan Hatta Rajasa, setelah tak menemukan kata sepakat dengan ARB yang kemudian menguji hubungan dengan PDI-P. Satu persoalan pun terjawab, bola pun mengalir ke arah Jokowi yang secara misterius menyembunyikan lima nama bakal capresnya. Mahfud MD dan Rhoma Irama yang dulunya getol ingin menjadi capres “menurunkan” gengsi dengan bersedia menjadi cawapres, sembari diam-diam berharap dipasangkan dengan Jokowi. Sayangnya, di luar dugaan bahkan mahfud yang kemampuannya tak diragukan malah tersingkir, Jokowi malah menggandeng Jusuf Kalla yang notabene kader Golkar. Uniknya, PKB sebagai partai yang dibanggakan oleh Rhoma dan Mahfud bergabung mendukung pasangan Jokowi-JK, artinya mereka rela tidak mengusung capres dan cawapres.
Kekecewaan pun tak bisa dihindarkan, merajuklah mereka yang namanya sudah terlanjur diangkat, digadang-gadang dan percaya dirinya keburu di atas awan. Mahfud yang ke-profesionalannya dalam berpolitik seharusnya tidak perlu diragukan, diluar dugaan menjadi pendukung Prabowo-Hatta, Rhoma yang walau ke-profesionalannya memang masih sangat diragukan dalam berpolitik juga mengikuti arah yang sama. Beberapa politisi juga ada yang berpindah ke lain hati, mendukung kubu lawan, memberontak dari partai tempatnya bernaung.
Saat seperti inilah kepemimpinan mereka akhirnya terbukti. Rakyat tinggal menilai, siapa yang benar-benar seorang pemimpin dan siapa yang hanya menginginkan sebuah jabatan. Pemimpin adalah dia yang konsisten memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa sekalipun ia tidak mendapatkan sebuah jabatan. Mari kita nilai, mereka yang membelot mendukung pasangan lain karena tidak mendapat mandate sebagai capres-cawapres. Rajukan mereka malah dimanfaatkan oleh orang lain untuk kepentingannya, pastinya mereka dijanjikan sesuatu jika nanti calon yang didukung menang. Sayangnya politik di Indonesia tidak lepas dari penghianatan, kebohongan, kepandaian berjanji. Jika akhirnya nanti mereka tidak mendapatkan jabatan yang dijanjikan maka mereka akan kembali merajuk, kemudian berbalik menyerang partai atau calon yang didukung sebelumnya.
Jika pak Mahfud mendukung Prabowo karena alasan kekecewaan, maka secara pribadi saya menjadi malu, sebagai orang yang selama ini lumayan mengagumi sosok beliau. Menguji seorang pemimpin ternyata cukup mudah. Bukan soal jabatan yang kita duduki makanya kita disebut pemimpin, tapi soal konsistensi kita berkontribusi membangun negeri tercinta. Mari berkontribusi bagi bangsa. Salam..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H