[caption id="attachment_348284" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi: kompas.com"][/caption]
Suasana kisruh di pemerintahan tentulah membuat kepala Jokowi pusing, sebagai seorang pemimpin ia adalah orang pertama yang disoroti. Bagaimana ia mengatur para bawahan, dan solusi apa yang ia tawarkan ketika konfik sudah datang. Itulah yang selalu dinanti oleh masyarakat dari orang nomor satu negeri ini. Betapa tidak, kebijakannya adalah penentu arah gerak pembangunan bangsa Indonesia.
Sejak dilantik jadi presiden, masalah memang seperti tidak berhenti menghinggapinya. Bahkan sebelum dilantik, kemenangannya dalam pemilu pun mendapat gugatan. Mengimplementasikan visi dan misi yang dijuluki nawa cita ternyata tak semudah membalikkan talapak tangan. Pikiran tak bisa hanya terfokus kepada program prioritas yang terdiri dari 9 agenda perubahan Indonesia yang dirancangnya. Masalah-demi masalah memaksanya untuk membagi pikiran dan waktu. Terpanas adalah masalah KPK vs Polri yang dinilai seharusnya tidak terjadi, sebab keduanya adalah sama-sama lembaga penegak hukum.
Entah memang kedua kubu sama-sama sedang menegakkan hukum, atau seolah-olah menegakkan hukum. Kalau memang sama-sama sedang menegakkan hukum, maka tegakkanlah hukum setegak-tegaknya. Baik ketika KPK mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka, dan ketika Polri menangkap Bambang Wijayanto. Namun jika memang mereka hanya seolah-olah menegakkan hukum dengan berbagai agenda busuk di baliknya, maka sebaiknya dihentikan dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani. Satu hal yang pasti, hal ini memusingkan kepala Jokowi.
Krisis kian berat di tubuh KPK manakala satu per satu pimpinannya menjadi terlapor kepada bareskrim. Suasana panas antara KPK-Polri seolah dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki dendam kepada KPK. Dosa-dosa para pejabat KPK dikorek sedalam-dalamnya untuk menemukan alasan agar mereka dipidanakan. Bahkan wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sudah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus dugaan menyuruh orang memberikan keterangan palsu di persidangan. Kemudian Adnan Pandu Praja yang kemudian digilir masuk daftar pemeriksaan oleh polri setelah dilaporkan Mukhlis Ramdan. Besok rencananya, wakil ketua KPK lain Zulkarnain juga akan dilaporkan ke Polri oleh Fathur Rosyid terkait dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur tahun 2008. Kita tidak tahu, kemungkinan apa lagi yang akan terjadi terhadap KPK. Kini KPK-Polri ibarat KMP-KIH yang saling menjatuhkan. Keduanya kini bagai partai Politik yang tak kalah memusingkan Jokowi.
Pastinya, menyatukan dua lembaga ini adalah tugas yang harus diselesaikan oleh Jokowi, jika tidak, maka KPK dan Polri akan sama-sama lumpuh. Keduanya juga kehilangan wibawa. Kemampuan Jokowi untuk mengajak keduanya berdiplomasi kini dinantikan. Mungkin sudah saatnya ia menggunakan cara “diplomasi makan bersama” yang dulu dipakainya semasa menjabat sebagai Gubernur DKI. Sebab, semasa menjadi Gubernur ia juga tidak lepas dari perselisihan dengan warga, maka makan siang adalah jurus ampuh yang terbukti mampu menyelesaikan pertikaian. Atau, apakah jurus itu tidak mampan jika digunakan untuk mengatasi masalah sekelas KPK-Polri? Barangkali Jokowi perlu memikirkan “menu” yang berbeda karena barangkali selera rakyat yang dihadapi di Jakarta jauh beda dengan selera KPK-Polri.
Duduk bersama, mendinginkan kepala, merendahkan hati, berpikir jernih, memandang ke depan betapa masih banyaknya persoalan negeri ini yang harus diselesaikan. Jokowi sendiri bahkan pernah memamerkan cara ini di forum CEO APEC Beijing, pada November tahun lalu. Mudah-mudahan, Jokowi sanggup mengatasi berbagai persoalan bangsa ini. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H