[caption id="attachment_327809" align="aligncenter" width="275" caption="Ilustrasi: halloriau.com"][/caption]
Hampir bisa ditebak apa yang akan dilakukan oleh bakal mantan presiden kita saat ini setiap kali menerima kritikan. Tak lain adalah “cuhat”, baik melalui media sosial maupun konferensi pers. Dengan nada seperti teraniaya, beliau sering mengaku didjolimi, dihujat dan dikasari. Bahkan tahun yang lalu, ia mengatakan bahwa dikritik sudah menjadi takdir bagi dirinya.
Kritikan memang semakin banyak dialamatkan padanya terkhusus di penghujung kepemimpinanannya sebagai presiden RI. Banyak kalangan yang menilai bahwa ia adalah presiden yang hanya pintar melakukan pencitraan. Meresponi setiap masalah di negeri ini hanya dengan pidato “keprihatinan” atas apa yang terjadi. Di akhir masa jabatannya, tentulah ia mengharapkan agar berakhir dengan finishing well. Dalam pidato terakhir nantinya sebagai presiden, tentulah ia berharap akan riuhnya tepuk tangan aplause untuk sepuluh tahun kepemimpinannya.
Sayangnya, sepertinya masyarakat kini malah tak sabar agar ia segera meninggalkan istana negara. Artinya, klimaks yang diharapkan dengan upacara pelepasan sang presiden terancam menjadi anti klimaks. Kritik berdatangan tidak hanya pada SBY, tapi juga pada sang ibu negara. Meski mengklaim keberhasilannya dalam bidang ekonomi dan keamanan, namun SBY dinilai tidak menghasilkan apa-apa. Di bidang ekonomi, katanya Indonesia berhasil menjadi jajaran 10 besar peringkat ekonomi di dunia. Kenyataannya kemiskinan di negeri ini bukannya terobati, yang terjadi justru jurang yang semakin luas dan dalam antara kaum kaya dan si miskin. Timpang.
Terkhusus di bidang hukum, politik, birokrasi pemerintahannya dinilai gagal. Banyak kader korup yang merupakan binaanya di Partai Demokrat justru bersembunyi di belakangnya. Untungnya, KPK lihai menangkap mereka. Klimaks dari murka rakyat adalah Pengesahan Undang-undang (UU) Pilkada, melalui mekanisme voting diwaranai aksiwalk out fraksi Partai Demokrat. Banyak kalangan yang menilai bahwa aksi itu tidak lepas dari peran SBY sebagai ketua umum partai. Kekesalan publik pun diarahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui jejaring sosial twitter dengan hastag #ShameOnYouSBY yang menjadi trending topic worldwide.
Kembalinya Presiden SBY ke Tanah Air setelah melakukan kunjungan kenegaraan ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Jepang juga disambut oleh hashtag #WelcomeMrLiar pada akhir bulan September lalu yang juga menjadi trending topic. Meresponi kritik itu, SBY kembali mengeluarkan jurus lamanya, ia kembali curhat bahkan mengatakan bahwa kritikan itu tak seharusnya dialamatkan padanya. Seolah ingin memperbaiki citranya, Perpu pun dikeluarkan dengan harapan mampu mebatalkan RUU Pilkada yang sudah terlanjur dikeluarkan DPR. Hal itupun dinilai hanyalah sandiwara politik SBY untuk membuat namanya menjadi pahlawan demokrasi.
Di akhir masa jabatannya masyrakat lack of trust terhadapnya, sebab ia hanyalah presiden yang pandai bersandiwara. Arah politik yang tidak jelas membuatnya sulit mengambil tindakan tegas. Antara Koalisi Merah Putih dan Indonesia Hebat, merapat ke kubu Prabowo, sepertinya agak sungkan bagi SBY sebab, ia menyadari koalisi ini banyak ditolak oleh masyarakat. Terlebih karena keberadaan Prabowo sebagai motor koalisi ini, yang tak lepas dari citra buruk pelanggar HAM. Ingin bergabung dengan Indonesia hebat, rasanya juga enggan. Meski secara prinsip, secara pribadi saya yakin ia mendukung Jokowi-JK, namun Indonesia Hebat tak lepas dari citra Megawati yang hingga kini (masih) bermusuhan dengan SBY.
Klimaks dari kepemimpinan SBY adalah ketika semua pihak sama-sama sepakat mengatakan bahwa ia telah membawa Indonesia menjadi negara yang berumbuh dengan baik. Pengakuan itu harus muncul dari seluruh elemen masyarakat, dengan demikian SBY mengakhiri masa jabatannya dengan haru. SBY pastilah mengharapkan hal itu, masyarakat memberi hormat dan namanya tercatat dalam sejarah sebagai salah satu presiden yang berhasil membangun negeri ini.
Di akhir masa jabatan ini, Perpu Pilkada sepertinya menjadi alat tukar terakhir yang akan digunakannya untuk membeli pengakuan itu. Bisa saja berhasil jika yang ingin didapatkan hanyalah pengakuan atau tepukan tangan, namanya sekilas harum. Akan tetapi rakyatlah yang menilai, rakyatlah yang mengecap buah dari kepemimpinannya selama sepuluh tahun. Klimaks bukan hanya soal mendapat pengakuan, melainkan kondisi real di lapangan, apa yang dihasilkan, apa yang ditinggalkan olehnya bagi bangsa ini.
Salkom_Salam Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI