Mohon tunggu...
Benyaris A Pardosi
Benyaris A Pardosi Mohon Tunggu... profesional -

Pendatang di Negeri Orang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sebelum Kita Benar-Benar Menikah

2 April 2015   18:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14279726601459837514

[caption id="attachment_358745" align="aligncenter" width="300" caption="Dokumen Pribadi"][/caption]

Meski belum diikat oleh pernikahan, namun kurasakan hubungan kita memperkaya diriku dengan banyak pengalaman. Kukecap banyak hal lewat caramu mencintaiku, memperlakukanku sebagai pasanganmu. Engkau membiarkanku mengenal seluruh dirimu seutuhnya. Dalam lebih dan kurang engkau hadir untuk mengenal dan dikenal olehku hingga akhirnya kita sepakat untuk melangkah ke dalam pernikahan.

Kita sama-sama menyadari bahwa kita sedang belajar. Belajar mengartikan cinta itu sendiri, belajar menerima satu sama lain, belajar untuk mencintai dan dicintai dengan cara kita masing-masing, belajar merencanakan masa depan untuk hidup kita bersama. Tidak ada yang mengajarkannya selain daripada kita sendiri menjalani sambil mempelajarinya. Satu yang kusimpulkan sejauh apa yang sudah kita tempuh, “cinta itu sederhana”. Ya, kusimpulkan bahwa cinta itu sederhana lewat caramu mencintaiku. Semakin kusadari bahwa cinta itu tak serumit apa yang sebelumnya kupahami di masa “kemudaanku”.

Engaku tentu semakin mengenalku, karena akupun berusaha jujur apa adanya diriku sebagaimana engkau terbuka padaku. Mungkin banyak kekurangan yang makin terkuak, yang tidak kau lihat saat pertama kali kita saling jatuh cinta. Mungkin saat itu cinta membutakanmu atas kekuranganku, atau bahkan kau juga melihatnya, namun kau acuhkan saja. “Nanti juga berubah” mungkin dalam batinmu. Atau “Aku bisa menerimanya” barangkali, kata hatimu. Karena aku pun merasakan hal yang sama dulu.

Dalam perjalanannya, cinta itu juga realistis ternyata. Selain cintaku terus bertumbuh padamu seiring waktu, namun untuk pertumbuhan itu banyak perjuangan yang kulalui. Kekesalan, jengkel, marah, memperhatikan “aslimu” yang muncul seiring waktu kita bersama. Cinta kupertahankan meski tingkahmu kadang membuat suasana hatiku tidak berbunga-bunga lagi seperti dulu. Dan aku pun tau bahwa kau mengalami hal yang sama karena aku pun tak kalah mengesalkannya. Terbukti ekspresimu kadang mendadak berubah menanggapi tingkah dan kataku yang tidak berkenan bagimu. Kadang aku harus membujukmu untuk memulihkan luka di hatimu karena ulahku. Kau pun sering melakukan hal yang sama untuk menenangkanku.

Lalu kita akan menikah dalam bulan ini 18 April tepatnya. Sesuai jadwal yang sudah kita susun bersama. Mimpi  kita bersama adalah kebahagiaan dalam rumah tangga yang akan kita jalani nantinya. Tapi realitasnya, untuk memiliki kebahagiaan itu sering kali ternyata tak mulus jalannya. Kita harus menyatukan dua karakter kita yang berbeda, karena dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan lingkungan sosial masa lalu kita.

Seiring kita semakin tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sepertinya ada hal yang harus kita pegang bersama. Apa yang bisa dan yang tidak dapat kita lakukan, saat bersama dan saat di depan banyak orang. Lebih baik kita saling mengumbar cinta di depan orang daripada kemarahan untuk ditonton. Bukan sedang bersembunyi di belakang mata mereka. Namun kita hanya harus menjaga bahwa kekecewakan kita bukanlah karena kita tidak saling cinta, atau bukan karena kita merencanakan untuk saling menyakiti. Namun ternyata hanya bukti bahwa kita masih manusia yang rentan untuk salah dalam menanggapi sebuah suasana. Atau bahkan untuk menegaskan bahwa kita pun masih terus belajar, pelajar yang terkadang salah untuk menjadi seseorang yang terbaik bagi pasangannya.

Kita tidak akan saling mengungkapkan kekesalan apalagi kekurangan satu sama lain di depan orang. Seiring cintaku bertumbuh untukmu, banyak juga yang kusadari bahwa ternyata aku tak sekuat yang kuduga dulu. Dulunya aku merasa bahwa aku akan mampu membuatmu tertawa bahagia setiap hari, tidak akan pernah menyakiti hatimu sedikitpun. Itulah tekadku dulu.

Namun, sebelum kita benar-benar menikah. Sebelum engkau benar-benar menjadi pasangan bagiku, orang yang cintanya sangat tidak sempurna, sebelum setiap hari engkau akan bertemu dengan orang yang sama.  Ada yang harus kukatakan.  Kusadari ternyata, diriku hanyalah manusia yang cintanya tidak sempurna. Karena hanya Tuhanlah pemilik sempurna. Hanya saja aku akan berusaha melakukan yang kubisa agar engkau bahagia.

Aku tahu bahwa bahwa engkau menerimaku bukan karena rupa, paras, apalagi harta yang kumiliki. Kusadar cintamu tulus untukku, dengan resiko yang harus kau tanggung, tersakiti, dikecewakan, tersinggung. Meski dulu kita pernah berkata bahwa kita akan saling menerima apa adanya. Tapi terbukti waktu yang sudah kita jalani ternyata tak mudah.

Aku ingin engkau marah di depanku saat aku tidak tepat memperlakukanmu. Aku ingin engkau menangis didepanku saat hatimu tersakiti karenaku. Aku ingin engkau kesal padaku saat ulahku menjengkelkan bagimu. Aku ingin engkau mendoakan agar aku kelak menjadi sempurna dalam mencintaimu seiring aku belajar bersama denganmu. Aku ingin kita menjalaninya seperti saat kita pacaran. Bukan soal indahnya, tapi kita tetap saling mencinta walau saling marah. Kekurangan tidak akan memisah cinta kita walau kita akan saling menyakiti. Aku ingin berkata bahwa aku siap untuk kau sakiti, dan aku ingin kau bersiap untuk kusakiti. Bagiku kita tidak masalah untuk saling menyakiti, asal tidak saling melukai. Mari saling memberi rasa sakit yang membuat kita semakin bertumbuh, rasa sakit yang bukan melukai tapi justru untuk saling memulihkan, saling mendewasakan. Maka mari kita tetap apa adanya diri kita untuk memarahi dan dimarahi, untuk dijengkelkan dan menjengkelkan, untuk dibujuk dan membujuk, untuk memaafkan dan dimaafkan, untuk mencinta dan dicintai, untuk saling berbagi suka dan duka kita berdua. Sebab pernikahan ini adalah tentang kita berdua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun