Mohon tunggu...
Benyaris A Pardosi
Benyaris A Pardosi Mohon Tunggu... profesional -

Pendatang di Negeri Orang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

100 Hari, Jokowi Belum Temukan Pola Kepemimpinannya

28 Januari 2015   17:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:13 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14224165021970392536

[caption id="attachment_348385" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi: kompas.com"][/caption]

Jika beranjak dari jabatan sebagai Walikota Surakarta menjadi Gubernur DKI, maka bisa dibilang Jokowi masih mampu mempertahankan gaya lama yang ia gunakan sebagai pemimpin. Dikenal gemar blusukan sejak di Solo, dan berhasil menangani masalah, blusukan pun makin “mendunia” semenjak di Jakarta. Mudah dan banyaknya media yang menyorot tentu memiliki andil yang sangat besar terhadap booming-nya gaya blusukan yang akhirnya “dipatenkan” sebagai milik Jokowi.

Namun pakah bisa disamakan ketika ia kini menjadi orang nomor satu di Indonesia? Daerah “kekuasaan” kini menjadi sangat luas. Jumlah bawahan kini menjadi sangat berlipat ganda, masalah yang butuh perhatian pun kian besar. Jokowi berkata, bahwa ia akan tetap blusukan, gaya yang membuatnya disukai masyarakat. Dan hal itu ia buktikan ketika mengunjungi beberapa perbatasan Indonesia seperti di NTT di awal masa pemerintahannya.

Perlu diperhatikan, keberhasilan atau efektipnya blusukan Jokowi tidak lepas dari peran seorang wakil yang menjaga gawang dengan baik. Katakan saja ketika di Jakarta, Ahok sebagai wakilnya selalu ditempatkan di kantor. Jika Jokowi bertugas mengunjungi daerah kumuh yang butuh kelemah lembutan dan sentuhan kasih sayang, maka Ahok mengawasi para pejabat Pemprov DKI Jakarta. Membasmi praktik-praktik korupsi, menggebrak PNS yang melakukan kong kali kong, serta pengusaha yang bandel tak bayar pajak. Transparansi anggaran, serta para pejabat diwajibkan melaporkan harta kekayaan membuat Pemprov DKI terkendalikan. Intinya Jokowi dengan mudah menemukan pola yang tepat untuk memimpin kota Jakarta.

Barangkali bukan demikian ketika Jokowi memimpin Indonesia, tak bisa disamakan dengan Surakarta dan Jakarta. Peran yang harus ia ambil adalah sebagai manager yang mengatur para menteri dan kementrian di bawahnya untuk “blusukan” ke daerah-daerah. Sementara presiden dan wakilnya memikirkan hal-hal stretegis yang membutuhkan kehadiran mereka secara langsung. Pemikiran saya yang lain adalah, apakah wakil presiden memang “cocok” dengan gaya Jokowi, sehingga Pak JK bisa mengambil peran seperti yang dilakukan oleh Ahok.

Menurut hemat saya, ksiruh yang terjadi saat ini membutuhkan ketegasan ala Ahok. Keberanian menantang dan bahkan memberhentikan para pejabat yang dianggap tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Keberanian untuk menantang siapa saja yang bertentangan dengan konstitusi.

Kesulitan yang dialami Jokowi untuk menemukan pola kepemimpinan yang mau ia terapkan adalah karena ia tidak benar-benar “merdeka” sebagai seorang kepala negara. Intervensi dari partai pengusungnya begitu kuat, sehingga ia tidak benar-benar menjadi dirinya sendiri dalam memimpin. Perbedaan lain adalah, saat menjadi Gubernur di Jakarta merupakan masa-masa menjelang pemilu. Maka Megawati dan PDIP-nya tidak terlalu banyak memberikan intervensi, bahkan terlihat sangat baik terhadap Jookowi.

“Ini kader PDIP lhooo, makanya pilih kami” itulah yang kira-kira ingin dikatakan Mega saat itu, maka ia memanis-maniskan tingkah. Entah benar demikian atau tidak, itu hanya analisa saya pribadi melihat perbandingan “kelakuan” Mega saat itu dan sekarang. Megawati bahkan memuji Jokowi habis-habisan, “si kurus bertenaga banteng” dijulukinya waktu itu.

101 hari dan selanjutnya diharapkan agar Jokowi bisa keluar dari bayang-bayang para politisi senior di Koalisi Indonesia Hebat. Ia harus bisa bertindak sebagai kepala negara seutuhnya tanpa harus mengabaikan dirinya sebagai kader PDIP. Jokowi adalah presiden Indonesia, bukan presiden PDIP. Masyarakat masih percaya Jokowi, hanya kebanyakan merasa cemas dengan suasana yang terjadi saat ini di tubuh pemerintahannya. Kekawatiran yang memiliki banyak alasan.

Semoga saja, Jokowi berhasil hingga lima tahun mendatang. Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun