Mohon tunggu...
BENTAR SAPUTRO
BENTAR SAPUTRO Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar di semestaNya

ketik huruf, angka dan tanda baca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Soal Cepat Atau Hafal

28 Juli 2015   09:49 Diperbarui: 28 Juli 2015   09:49 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal bulan Ramadhan yang kebanyakan orang juga disebut sebagai bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Semua orang, khususnya warga muslim menyambut dengan suka cita datangnya bulan yang spesial ini. ‘Ritual’ ramadhan yang menarik perhatian saya adalah pada saat sholat tarawih. Beberapa waktu yang lalu saya pernah membuat status di media sosial, kurang lebih begini,

“Tak perlu mendadak ‘religius’, menjelang bulan Ramadhan. Cukup perbaiki diri atas dasar kecintaan terhadap Sang Pencipta, supaya hubungan vertikalnya semakin ‘mesra’. (disela2 nunggu hasil sidang istbat, sembari makan nasi kucing di angkringan, 28 Juni 2014, ± pukul 19.35).

Status tersebut tiba-tiba muncul dalam benak saya dan tak terasa tangan ini tidak bisa diam untuk merangkai dalam kata-kata yang menjadi sebuah kalimat. Setiap kali datangnya bulan ‘spesial’ tersebut acap kali manusia mendadak menjadi berubah. Perubahan tersebut bisa saja menjadi diri sendiri dan bisa juga menjadi bukan dirinya sama sekali. Terlepas dari itu semua, perubahan memang sejatinya diperlukan oleh tiap insan dalam rangka ‘hijrah’. Memang tidak ada salahnya seseorang kemudian mendadak religius dalam rangka menyambut datangnya bulan ‘spesial’ tadi. Pertanyaannya adalah apakah hal yang mendadak religius tersebut dapat dipertahankan secara konsisten? Apakah ini hanyalah rutinitas tahunan saja? Lantas bagaimanakah kita memperlakukan bulan-bulan yang lainnya?

Tidak mengapa seseorang mendadak berubah ke arah yang lebih baik. Turning point-nya adalah pada bulan apapun itu semestinya manusia melakukan perubahan yang terus-menerus (hijrah) dari yang buruk ke yang baik, dari keliru (bukan salah) ke yang benar, dari khilaf ke sadar dan seterusnya. Hakekatnya perubahan tersebut haruslah menuju sesuatu yang sebelumnya kurang baik menuju ke arah yang lebih korektif. Tidak peduli di bulan apapun itu, manusia seyogyanya terus menerus melakukan perubahan dalam dirinya. Akan sangat tidak adil jika hanya melakukan perubahan tersebut di satu bulan saja, berbuat bijaklah terhadap bulan-bulan yang lain.

Formasi 23 dan 11

Kembali ke bahasan mengenai tarawih. Pada aliran-aliran tertentu memiliki prosedur dan tata cara pelaksanaan tarawih yang berbeda. Ada yang menggunakan formasi 23 (2-2-2-2-2-2-2-2-2-2-3) dan ada yang menggunakan formasi 11 (4-4-3). Tentunya sebagai manusia yang bahagia menyambut bulan ‘spesial’ tersebut sudah pasti tahu formasi yang saya maksud. Tuhan menciptakan segalanya berjalan dengan kompleksitas yang luar biasa, karena manusia hakekatnya diarahkan untuk ‘berpikir’. Segala sesuatunya tidak bisa hanya diterima ‘mentah’ saja, namun harus dicerna dengan pemikiran yang mendalam.

Ada yang menarik di beberapa tempat yang pernah saya kunjungi pada saat tarawih. Pertama, yang menggunakan formasi 23 dan yang kedua menggunakan formasi 11. Pada saat mengikuti formasi 23 memiliki tempo yang luar biasa, jujur saja formasi ini cukup membuat nafas saya tak beraturan. Bacaan dan gerakan yang digunakan benar-benar luar biasa, hanya orang-orang tertentu yang bisa mengerjakan gerakan ini. Saya mencoba mengalir dan mengikuti gerakan formasi ini, dengan usaha yang keras dan niat yang kuat saya mencoba untuk hanyut dalam formasi pertama ini. Saya masih cukup muda dengan fisik yang masih terbilang cukup prima. Nah, timbul pertanyaan lagi dalam benak saya. Bagaimanakah jamaah yang masuk dalam ketegori sudah masuk usia lanjut, dengan fisik yang sudah cukup ke-repot-an? Apakah hal ini tidak dipertimbangkan oleh nahkoda yang ada di depan yang memimpin jalannya tarawih? Memang saya akui, dalam formasi 23 ini tempo yang digunakan sungguh cepat. Saya tidak mengerti, apakah memang karena sudah hafal bacaan dan gerakannya atau memang karena ingin segera ‘menyudahi’ dengan cepat. Wallohu ‘alam bisshowab.

Sementara pada saat saya mengikuti formasi 11, saya merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Benar saja, pada saat mengikuti prosesi formasi 11 ada yang beda mulai dari bacaan dan gerakan yang digunakan. Saya berpikir bahwa dengan formasi 11 ini, sang nahkoda sangat memikirkan terhadap ‘anak buahnya’ yang ada di belakang. Baik dari kalangan muda hingga yang tua sangat memungkinkan untuk mengikuti formasi 11 ini. Namun bukan berarti formasi yang 23 tidak memungkinkan untuk diikuti, hanya saja formasi yang 11 ini dapat diterima dengan kondisi yang lebih tuma’ninah dan khusyu’. Mulai dari gerakan dan bacaan yang digunakan sangat memungkinkan para ‘anak buah’ untuk membaca dan benar-benar berkonsentrasi pada saat prosesi tarawih.

Pada akhirnya, saya mengambil kesimpulan sederhana dari cara berpikir saya yang masih dangkal ini. Bahwa formasi yang sudah pernah saya ikuti, saya cenderung bisa mengikuti formasi 11. Formasi ini, saya bisa dengan mudah melakukan ‘driblling’, ‘juggling’ dan ‘menggiring’ dengan kemampuan saya yang masih sangat minim. Tidak ada yang buruk dari formasi-formasi tadi, hanya saja manusia dituntut untuk dapat memilih dan menggunakan bahkan memakai ‘pakaian’ yang nyaman. Toh, semuanya memiliki niat dan tujuan yang baik dan muaranya sama-sama untuk menciptakan ‘gol’ yang indah.

 

Bentar Saputro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun