Masih dalam suasana bulan ramadhan yang penuh dengan kehangatan dalam nikmat puasa. Malam itu seperti biasa kegiatan rutin di malam hari adalah tarawih. Malam Ramadhan baru memasuki minggu pertama dan tentu saja masih banyak manusia ‘rajin’ bergegas ke rumah Tuhan untuk melakukan aktivitas layaknya di bulan yang penuh berkah ini. Suasana malam itu sungguh cerah dan sekelibat ada beberapa bintang yang nampak memancarkan kerlap-kerlipnya seakan ikut bahagia mengiringi manusia yang hendak bergegas ke rumah Tuhan. Benar saja malam itu sungguh banyak sekali manusia yang bersemangat memenuhi ‘shaf’ (barisan dalam sholat) dan hampir memenuhi sendi-sendi ruangan di rumah Tuhan tersebut. Karena rumah Tuhan tersebut berada di pusat kampus salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang tepatnya di daerah Sekaran dan menjadi kebanggaan dari warga kampus itu sendiri.
Malam itu penulis kalau tidak salah berada di ‘shaf’ baris ke 5, ketika baru datang memasuki ruangan tersebut waktu masih menunjukkan ± 7 menit menuju waktu sholat Isha’ terlihat semacam penanda jam digital yang terpampang di atas mimbar. Penulis melakukan sholat sunnah layaknya manusia yang disunnahkan sholat ketika memasuki rumah Tuhan. Waktu terus berjalan dan segera saja memasuki sholat Isya’ para jamaahpun segera bergegas berdiri mempersiapkan diri setelah mendengar lantunan ‘iqamah’. Sang nahkodapun (imam) yang memimpin jalannya sholat Isya’ sudah berdiri di barisan paling depan kemudian menginstruksikan para jamaah untuk merapatkan barisan di setiap shaf-nya. Perjalanan spiritual yang berjumlah 4 (empat) rakaat tersebut berjalan dengan khidmat dan penuh dengan kekhusyukan dan dikahiri dengan dua salam. Para jamaahpun segera melakukan wirid, dzikir dan sholat ba’diyah . Setelah beberapa saat kemudian salah satu takmir (baca= pengurus masjid) yang akan menyampaikan beberapa informasi mengenai jalannya Tarawih yang akan dilaksanakan malam itu, mulai dari laporan perolehan infaq hingga penceramah dan imam sholat tarawih berjamaah.
Penceramah sudah menaiki mimbar dan memberikan semacam kultum (kuliah tujuh menit). Setelah beberapa menit kemudian penceramah mengakhiri kultum tersebut (penulis sengaja tidak membahas Tema yang diangkat malam itu J). Para jamaah berdiri setelah mendengar instruksi sang imam untuk menjalankan tarawih sebanyak 4 rakaat (untuk diketahui di tempat ini menggunakan formasi 4-4-3). Di rakaat 4 yang pertama berjalan dengan lancar dan dilanjut memasuki rakaat 4 yang kedua. Ada yang menarik menjelang di akhir rakaat 4 yang pertama, yakni di depan ‘shaf’ tepat penulis berdiri, ada kucing yang berjalan mondar-mandir. Kucing tersebut seakan-akan sedang mencari posisi untuk dirinya. Menurut penulis ini bukan seoal kebetulan apabila kucing tersebut berada di rumah Tuhan malam itu. Sudah pasti ada campur tangan Tuhan yang dengan sengaja ‘menggiring’ kucing tersebut memasuki area masjid. Beberapa jamaah ada yang merasa kehadiran kucing tersebut justru mengganggu jalannya tarawih malam itu. Terbukti ada beberapa jamaah berusaha ‘memindahkan’ kucing tersebut ke luar area shaf, jika tidak mau dikatakan mengusir.
Menurut hemat penulis kucing tersebut semestinya tetap diperlakukan sesuai keinginannya mau bergerak ke sana kemari terserah langkah kaki. Penulis yakin bahwa kucing juga merupakan hamba Tuhan yang sangat patuh dengan Tuhannya. Hal ini ditunjukkan kepatuhan sang kucing memasuki area masjid dan bahkan melebur ke dalam barisan jamaah yang tengah mengerjakan sholat. Kucing memiliki caranya sendiri untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Sebagai ciptaan Tuhan, mahluk yang paling sempurna yakni manusia seyogyanya dapat belajar dari binatang sekalipun. Jangan pernah menganggap remeh kehadiran kucing di masjid malam itu. Sejatinya memang Tuhan sengaja menghadirkan kucing tersebut dihadapan para jamaah justru untuk saling menghormati dan melebur menghadap bersama-sama kepada sang Pencipta. Jika bukan karena kehendak Tuhan malam itu, kucing tersebut tidak akan ‘mampir’ ke masjid.
Mari kita mencoba melakukan dialektika dengan mahluk-mahluk ciptaan Tuhan yang lain. Bukan hanya kepada sesama manusia melainkan dengan semua mahluk yang ada di sekeliling kita. Jangan sampai label ‘mahluk ciptaan yang sempurna’ ini menjadikan kita sombong dan lupa bahwa ada mahluk lain selain manusia. Setiap mahluk memang memiliki ciri khas yang unik, untuk itu kita harus bisa memperlakukannya sesuai dengan fitrahnya masing-masing.
Â
Semarang, 17 Juli 2014 (Kantor BPMP, ± pukul 10.25 – 10.46 WIB)
Refleksi Kucing dan Manusia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H