"Ok sip..." kata Pak B sambil menyerahkan berkas plus uang. Mungkin beberapa orang yang antri di depan loket juga tidak tahu kalau ada saya barusan protes uang kertas 'esek-esek' dan uangnya dikembalikan.
Saya sengaja tidak protes teriak-teriak. Saya gak mau sok jagoan. Sok anti pungli. Saya malas ribut-ribut. Seorang pembayar kertas 'esek' lain yang sempat saya provokasi untuk minta uangnya kembali jawabnya simpel,"Diikhlaskan mas. Nggak berani."
Saya yakin praktek pungli semacam itu terjadi di Samsat lain di Indonesia. Saya yakin, pimpinan 'meresetui' praktek semacam itu, seperti pungli di pengurusan SIM dan lainnya. Saya yakin pejabat eksekutif dan legislatif juga tahu adanya praktek semacam itu. Saya yakin di instansi lain pun terjadi hal yang sama, pengurusan paspor, sertifikat dll.
Barangkali satu dari pembaca Kompasiana adalah anggota IPW sehingga dapat menindaklanjuti hal ini. Saya kira seruan atau teguran dari IPW teramat sangat lebih efektif dibanding kalau saya teriak-teriak sama Petugas yang juga cuma disuruh atasannya. Korupsi sistematis. Pungli sistematis. Maka saya pesimistis kasus pungli dan korupsi besar dibongkar. Yang 'ecek-ecek', remeh temeh aja prakteknya merajalela. Padahal kalau dipikir, penghasilan petugas/polisi itu saya yakin lebih dari cukup dibanding dari kebanyakan masyarakat Indonesia.
Jadi, kalau pembaca membayar pajak kendaraan dan disuruh bayar kertas 'esek-esek' dan ingin hemat, bisa meniru apa yang saya lakukan. Rp 15.000 atau Rp 30.000 lumayan buat sarapan. Begitu. Selamat ber'esek-esel'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H