Hooliganisme adalah perilaku kekerasan dan kerusuhan yang terjadi dalam konteks olahraga, terutama dalam pertandingan sepak bola. Istilah ini berasal dari kata "hooligan" yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok penggemar sepak bola yang terlibat dalam tindakan kekerasan di Inggris pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Hooliganisme sering melibatkan perilaku yang merusak properti, pelanggaran hukum, pertikaian fisik dengan pendukung tim lawan, dan serangan terhadap polisi atau petugas keamanan. Para hooligan sering membentuk kelompok yang disebut "firm" yang memiliki identitas dan daerah dukungan yang spesifik.
Hooliganisme dapat merusak reputasi olahraga dan menciptakan situasi yang berbahaya bagi para penonton dan peserta. Banyak upaya telah dilakukan untuk memerangi hooliganisme, termasuk peningkatan keamanan di stadion, peningkatan kerja sama antara klub sepak bola, polisi, dan otoritas, serta hukuman hukum yang lebih berat bagi mereka yang terlibat dalam tindakan kekerasan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa hooliganisme tidak mewakili seluruh komunitas penggemar sepak bola. Mayoritas penggemar adalah individu yang menikmati pertandingan dengan damai dan mendukung tim mereka tanpa melibatkan kekerasan atau gangguan.
Hooliganisme di Inggris telah menjadi masalah yang signifikan dalam sejarah olahraga negara tersebut. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, Inggris terkenal dengan kekerasan yang terjadi dalam pertandingan sepak bola, terutama dalam kompetisi liga domestik seperti Liga Primer Inggris.
Pada saat itu, sekelompok penggemar sepak bola yang dikenal sebagai "hooligan" terlibat dalam pertikaian fisik dengan pendukung tim lawan atau bahkan antara kelompok hooligan dari tim yang sama. Mereka sering merusak properti, melempar benda-benda, dan menciptakan suasana yang berbahaya di stadion.
Kejadian paling terkenal dan tragis terjadi pada Tragedi Heysel pada tahun 1985, di mana 39 orang tewas dan ratusan lainnya terluka saat kerusuhan antara pendukung Liverpool dan Juventus sebelum pertandingan final Piala Champions di Brussels, Belgia. Insiden ini menjadi pemicu bagi upaya untuk menangani hooliganisme dan meningkatkan keamanan di stadion.
Pada tahun 1989, tragedi Hillsborough terjadi di stadion Hillsborough, Sheffield, di mana 96 penggemar Liverpool tewas dalam kerumunan yang tidak terkendali. Kejadian ini mengarah pada perubahan signifikan dalam standar keamanan stadion dan pengawasan pertandingan di Inggris.
Sejak itu, langkah-langkah tegas telah diambil untuk memerangi hooliganisme di Inggris. Peningkatan keamanan di stadion, penerapan undang-undang yang lebih ketat, pengawasan CCTV, serta kerjasama yang lebih baik antara klub sepak bola, polisi, dan otoritas telah mengurangi insiden kekerasan secara signifikan.
Meskipun hooliganisme masih ada dalam beberapa tingkatan, terutama dalam pertandingan yang melibatkan tim yang rival atau bersejarah, upaya terus dilakukan untuk menghapus perilaku ini dari olahraga sepak bola Inggris dan menciptakan lingkungan yang aman dan menyenangkan bagi semua penggemar.
Pengaruh kultur hooliganisme dari Inggris masuk ke Indonesia pada awal tahun 1990-an, membawa bersamanya pola perilaku kekerasan yang terkait dengan pertandingan sepak bola. Perkembangan ini terutama terjadi melalui paparan media massa seperti televisi dan majalah sepak bola yang secara dramatis menggambarkan kejadian hooliganisme di Inggris. Para penggemar sepak bola Indonesia yang terpapar dengan budaya sepak bola Inggris, termasuk aspek kekerasan, mulai meniru perilaku hooligan.
Pada periode itu, terjadi peningkatan yang mencolok dalam insiden kekerasan dan kerusuhan dalam pertandingan sepak bola di Indonesia. Grup-grup pendukung tim, yang pada awalnya lebih berfokus pada dukungan dan semangat untuk tim favorit mereka, mulai membentuk kelompok-kelompok hooligan yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan merusak properti.
Salah satu momen penting dalam sejarah hooliganisme di Indonesia terjadi pada tahun 1994, saat final Piala Liga Indonesia antara Persija Jakarta dan Persib Bandung di Stadion Gelora Senayan, Jakarta. Pertandingan tersebut dikenal sebagai "The Jakarta Brawl" atau "The Battle of Jakarta". Kericuhan pecah antara pendukung kedua tim, dengan saling melempar batu, botol, dan benda-benda lainnya, yang menyebabkan puluhan orang terluka dan kerusakan yang signifikan di stadion.
Insiden ini menjadi titik balik dalam kesadaran publik terhadap keberadaan hooliganisme di Indonesia. Pemerintah, klub sepak bola, dan pihak berwenang menjadi semakin menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok hooligan ini. Langkah-langkah diambil untuk membatasi kehadiran mereka di stadion dan meningkatkan keamanan pertandingan.