Ketika diriku terpasung dalam kerentanan senja, masih saja aku mendengar nyanyian disertai dengan teriakan
Lamat aku amati nyanyian, sejenak aku seksama dengarkan teriakan.
Semua itu membuat aku tertegun, masih saja seperti dulu, tentang ketidakpuasan
Teringat saat pementasan layaknya ketoprak, yang semestinya memainkan cerita berbalut kepahlawanan, namun tiba-tiba berubah menjadi celoteh renyah dari badut-badut yang tak bersuara lawakan
Dan saat itu panggung telah menjadi dua, satu panggung pementasan dan satu panggung penonton, yang terbagi beberapa bagian
Sorak-sorai pekik keriangan, umpatan hujatan serta yang hanya terdiam
Aku sendiri bingung, masuk bagian mana
Pun aku telusuri jalanan sempit perumahan, menyajikan berbagai musik selera mereka
Kadang mendayu nostalgia, kadang tenggelam hentakan irama kekinian
Namun inilah hidup, seperti bulan dan bumi mengelilingi matahari, tak perlu dimengerti
Kelu lidah ini turut berbicara, seperti mereka, karena aku bukanlah mereka
Aku hanya seorang penonton yang ada saatnya tertawa, menangis dan bertepuk-tangan
Entahlah dan biarlah, meski tak menawan negeri antah berantah, cukup dipahami diri saja bahwa aku masih mempunyai Ibu Pertiwi, yang senantiasa tetap lemah lembut melihat putra-putrinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H