Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketuhanan Pancasila: Pertama Bukan Terutama

1 Juni 2017   07:47 Diperbarui: 1 Juni 2017   10:05 1620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://grahawisatajakarta.com

Masih ingatkah saat upacara bendera semasa sekolah? Pembacaan Pancasila selalu diawali dengan ‘Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.’ Warga Indonesia yang sebagian besar ber-Tuhan melalui agama sangat menekankan status ‘Ketuhanan’ sebagai sila pertama. Saking pentingnya, banyak yang salah kaprah kemudian berpikir karena diletakkan di urutan pertama, sila tersebut menjadi yang utama dalam Pancasila.

Tidak. Pertama bukan berarti terutama.

Pancasila adalah ideologi kesatuan yang terdiri atas lima sila yang tak terpisahkan. Posisi ‘Ketuhanan’ sebagai sila pertama adalah primus inter pares.Ia adalah yang pertama di antara lima sila yang setara. Dalam penerapannya pun kelima sila tidak dapat dipisah dan berdiri sendiri. Pun pengamalan satu sila tidak boleh melanggar sila yang lain.

Sayangnya, Indonesia saat ini dihadapkan dengan kelompok agama radikal yang mengaku mempertahankan keutaman sila ‘Ketuhanan’ dalam Pancasila. Dalam prakteknya mereka gemar menghakimi sesama warga Indonesia yang juga ber-Tuhan. Mereka mengecam kaum LGBT ‘melanggar fitrah manusia’ dan mendukung diskriminasi LGBT dalam pendidikan. Di saat yang sama pemilihan kepala daerah ditentukan oleh apakah calon termasuk agama mayoritas, sebagai pengamalan ‘Ketuhanan’ katanya.

Saat kita ber-Tuhan dengan menindas dan mendiskriminasi kaum LGBT sebenarnya kita ber-Tuhan dengan melupakan sila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.’ Terlepas dari kontroversi posisi teologis LGBT dalam agama-agama dunia, fakta tak terbantahkan adalah mereka manusia juga. Jika dalam berbangsa kita masih bisa memanusiakan koruptor dan pembunuh, apa artinya jika kita menuntut pembasmian LGBT dari Indonesia karena ‘Ketuhanan’ kita?

Saat kita ber-Tuhan dengan menolak hak membangun rumah ibadah bagi agama minoritas, kita juga melupakan sila ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.’ Keadilan sosial tidak hanya terbatas pada penyediaan kebutuhan. Penjaminan hak yang setara bagi semua golongan pun tercakup dalam konsep ‘Keadlian Sosial’ dalam Pancasila.

Jika ber-Tuhan menyebabkan kita saling mengkafirkan dan menghakimi keimanan sesama warga Indonesia, kita memecah belah bangsa dan meludahi sila ‘Persatuan Indonesia.’ ‘Ketuhanan’ pun tidak memerintahkan kita untuk memaksakan iman dan hukum agama pada penganut iman lain dengan mengabaikan ‘Musyawarah Mufakat.’

Tidak hanya salah kaprah mengenai keutamaan ‘Ketuhanan’ dalam Pancasila, banyak pula yang menyempitkan makna sila pertama. Salah kaprah kedua ini adalah pemikiran bahwa Ketuhanan bersinonim dengan beragama. Itu pun agama dipersempit lagi menjadi 6 agama yang diakui pemerintah. Tidak sedikit pula yang lebih menyempitkan makna ketuhanan beragama menjadi agamanya sendiri, bahkan madzhab atau aliran tertentu saja dalam agamanya. Orang dengan iman, agama, atau aliran lain dianggap tidak ber-Tuhan.

Saya percaya ‘Ketuhanan’ Pancasila bukanlah konsep ber-Tuhan yang sempit. Ia tidak terbatas pada agama dan kepercayaan. Lagipula para Bapak Bangsa tidak membatasi cara pengamalan ‘Ketuhanan’ Pancasilais. ‘Ketuhanan’ yang Pancasilais tidak terkungkung sempitnya konsep ketuhanan satu agama, atau bahkan enam agama resmi Indonesia.

Tentu sebagai manusia yang ber-Tuhan lewat agama kita beriman bahwa agama kita adalah jalan keselamatan yang terbaik. Akan tetapi, keimanan pribadi ini seharusnya tidak menerobos batas memasuki kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Biarlah keimanan ini bergema dalam hubungan pribadi kita dengan Tuhan; dalam hati kita dan dalam ruang pribadi. Di ruang publik, bangsa, dan negara kita ber-Tuhan dalam koridor Pancasila yang juga berkemanusiaan, bersosial, bermufakat, dan tidak memecah-belah.

Ketuhanan harus selalu diakomodasi dalam hukum dan kebijakan Indonesia karena memang menjadi identitas bangsa lewat Pancasila. Tetapi akomodasi tidak berarti permisif terhadap upaya-upaya yang menyempitkan makna ber-Tuhan menjadi aturan perundang-undangan totaliter yang berdasar agama. Sebaliknya, Pancasila memandatkan pemerintah untuk mengakomodasi warganya untuk ber-Tuhan dengan cara yang beragam dengan tidak melangkahi hak asasi manusia dan hak sipil warga negara yang dilindungi sila kedua sampai ke-empat Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun