"Ayah, Bunda, tidak usah diambilkan minum. Duduk dulu, ada yang aku ingin bicarakan," kataku. Aku tidak ingin basa basi. Langsung saja ke pokok pembicaraan.
"Kenapa le? Kamu serius sekali sepertinya," kata Ayahku dengan alis tertekuk. Tapi, syukurnya, perlahan ia duduk. Bunda pun ikut duduk, selalu patuh pada Ayah tanpa harus ia harus berkata-kata.
Berhadapan di ruang tamu orang tuaku, aku menghela nafas panjang dan memuntahkan kenyataan itu, "Ayah, Bunda, kenalkan. Ini Burhan. Ia adalah... kekasihku."
Hening.
Sesaat tidak ada suara di rumah itu kecuali derik jangkrik di jalan dan degup jantungku kencang menahan tekanan. Kulihat Bunda membelalak dan menutup mulut karena terkejut sementara di dahi Ayah urat-urat kemarahannya mulai terlihat. Mereka memandang lekat-lekat seakan tadi aku berucap dalam bahasa asing. Kenyataan sederhana, bahwa aku lelaki penyuka sesama, menjadi fakta yang tak dapat mereka mengerti. Tidak. Fakta yang tak ingin mereka mengerti.
Malam itu, dua malam setelah Hari Valentine, terdengar pecah tangis dari rumah orang tuaku. Di desa kecil seratus dua puluh kilometer barat daya Surabaya. Tangis itu pilu menyayat hati dan terus berlanjut hingga terbit mentari, bak seorang ibu yang anaknya baru saja mati.
Mungkin bagi Bunda benar begitu. Mungkin bagi Bunda lebih mudah, bahkan lebih baik, jika aku mati. Atau mungkin... seharusnya aku tidak usah lahir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H