Ingatkah Anda pelajaran Bahasa Indonesia ketika SMA? Apa yang Anda pelajari? Pernahkah Anda disuruh membaca karya sastra anak bangsa, Bumi Manusia oleh Pramoedya atau bahkan terjemahaan Max Havelaar oleh Multatuli? Saya yakin yang membekas hanya puisi Aku oleh Chairil Amwar, itu pun ketika sekolah dasar.
Alih-alih sastra, masa SMA kita hanya diajarkan aspek produktif dari bahasa ibu kita. Kita diajar bagaimana bersurat, menulis surat kuasa, surat lamaran kerja. Fenomena ini bukan kebetulan semata, ia adalah buah nyata suatu filosofi tak terkata tapi nyata. Filosofi itu adalah pendidikan di Indonesia sejatinya bukan untuk memupuk ilmu anak muda tapi untuk memproduksi tenaga kerja.
Cermatilah di sekitar kita. Pasti banyak akan Anda temukan iklan sekolah tinggi, baik di radio atau sekedar baliho. Bidangnya bermacam-macam, mulai pariwisata hingga informatika. Apa yang mereka iklankan? Apakah mengiklankan pendidikan berkualitas, mencetak cendekia pelopor ilmu di bidangnya? Tidak. Yang diiklankan adalah serapan tenaga kerja alumninya, besarnya gaji mereka.
Mungkin Anda berpikir ini tak masalah. Toh sekolah tinggi bukan universitas, dualisme orientasi ketenagakerjaan dan kecendekiaan ini pun ada di sistem edukasi Perancis dan Belanda. Sekolah tinggi mencetak pegawai, universitas mencetak profesor. Sama seperti perbedaan orientasi SMA dan SMK.
Tapi ternyata paradigma sekolah sebagai pabrik tak terbatas pada sekolah  kejuruan dan sekolah tinggi. Pada universitas pun paradigma ini telah meresap. Saya mengalami sendiri saat masa-masa orientasi sebagai mahasiswa baru. Mungkin beberapa Anda pun mengalaminya.Â
Ketika itu para petinggi civitas akademika berbicara dari podium mengingatkan kita memanfaatkan kesempatan untuk menimba hard skill dan soft skill.Â
Untuk apa? Agar lebih mudah diterima kerja dan nantinya agar sukses disana. Jarang sekali diberi wejangan agar rajin belajar sehingga bisa meneliti dan mengajar, membaca agar bisa menulis.
Dalam pemerintahan dan bernegara pun tak jauh beda. Bahkan bertambah pula produk yang diproduksi dari pabrik bernama sekolah itu. Produk baru itu bernama penelitian, properti intelektual. Tapi penelitian yang dianggap produk berharga hanya beberapa jenis tertentu, yaitu yang berpotensi diindustrialisasi dan dimonetisasi. Lainnya dianggap penelitian kelas dua.
Inilah yang terjadi ketika kapitalisme sudah mendarah daging, seperti obat yang sudah overdosis. Dalam dosis kecil, dosis terapi, ia mampu menumbuhkan ekonomi, merangsang pasar, memacu investasi, mempekerjakan warga, memberi penghidupan. Tapi ketika sudah overdosis, maka semua aspek kehidupan digulung dan ditelannya. Tak terkecuali pendidikan.
Pendidikan seharusnya mendidik, menumbuhkan pemahaman yang sebenarnya. Pemahaman tentang apa? Tentang hal-hal yang menjadikan murid manusia seutuhnya, yang terasah tak hanya otak logikanya tapi juga hati nuraninya.Â
Pendidikan harus memberi murid wawasan, bukan hanya untuk mencetak nilai melalui pekerjaan, tapi juga untuk menjadi anggota masyarakat yang bermakna. Yang terpenting lagi, pendidikan seharusnya mampu menjadikan murid berpikir mandiri untuk dirinya sendiri selepas dari guru dan ruang kelas.