Sore hari akhir Oktober di IGD sebuah rumah sakit umum pusat di seputaran Denpasar. Seorang pasien datang memegang tangannya yang berdarah-darah. Ia seorang buruh bangunan. Siang hari, saat sedang bekerja tangannya terkena gerinda (pemotong keramik). Akibatnya tentu saja luka robek parah pada telapak tangan antara jempol dan telunjuk. Tendon tangan kirinya putus dan ia tidak bisa menggerakkan telunjuk.
Tim dokter segera menangani. Luka dibersihkan, perdarahan dihentikan sementara dengan balutan kasa steril. Pasien diedukasi mengenai tata laksana lukanya: perbaikan tendon. Tindakan ini sebaiknya dilakukan di ruang operasi karena prosedurnya cukup sulit, tendon yang putus harus dicari terlebih dahulu di antara jaringan tangan yang rusak. Biayanya tentu tidak sedikit, dapat menembus 5 juta rupiah.
Sayangnya, si pasien tidak ditanggung asuransi apa pun. Dengan tanggungan umum (biaya sendiri), pasien memutuskan melakukan prosedur tersebut di ruang tindakan UGD. Akhirnya tim dokter berjibaku memperbaiki tendon pasien dengan peralatan yang jauh lebih terbatas (bius regional vs. bius umum, alat terbatas, dll). Tindakan yang di ruang operasi dapat selesai dalam 2 jam akhirnya selesai dalam 4,5 jam.
Andai saja si pasien merupakan anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan, tentu ceritanya akan berbeda.
Sebagai perbandingan, pada saat yang hampir bersamaan, ada pasien lain datang dengan patah tulang terbuka. Tulang kering dan betis pasien mencuat keluar akibat kecelakaan lalu lintas. Operasi yang diperlukan lebih besar: tungkai bawah pasien dibuka, tulang diluruskan, lalu ditahan dengan pen. Pada pasien umum, biayanya dapat menembus Rp 10 juta. Tetapi, karena pasien ditanggung JKN, ia dapat segera menyetujui tindakan tersebut. Operasi berjalan lancar, tungkai pasien aman tanpa biaya.
Contoh lain di poliklinik onkologi. Sebagai dokter muda saya beberapa kali ditugaskan menyuntikkan filgrastim, suatu obat peningkat sistem imun. Setelah menyuntik, dari sudut mata saya melihat label harga pada kemasan filgrastim tersebut. Tertera harga: Rp 963.000-an. Hampir Rp 1 juta. Itu untuk 1 kali suntik. Dalam sekali pemberian, filgrastim harus disuntikkan 3 kali dalam 3 hari berturut-turut.Â
Total, hampir Rp 3 juta. Itu pun hanya obat untuk efek samping kemoterapi. Kemoterapinya sendiri lebih mahal lagi dan dilakukan 6 hingga 12 siklus, minimal. Dapat dibayangkan kenapa pasien kanker dahulu hingga menjual tanah dan rumah demi membiayai pengobatannya. Tapi dari selusin pasien yang saya suntik filgrastim hari itu, semuanya anggota JKN - BPJS Kesehatan. Dengan JKN biaya pengobatan menjadi nol rupiah alias gratis!
Harus diakui JKN sangat membantu klinisi dan pasien. Selain pasien dengan JKN tidak dibebani biaya, dokter pun bebas, tidak perlu memikirkan kemampuan pasien membayar. Pelayanan jadi seragam untuk penyakit yang sama, hanya perlu disesuaikan dengan tanggungan JKN. Pasien memperoleh pelayanan maksimal sesuai tanggungan BPJS yang sudah sangat komprehensif. Walaupun tidak sempurna, tanggungan ini tentu lebih luas dari pada yang mampu dibayar sebagian besar rakyat Indonesia.
Setelah menerima manfaat yang luar biasa ini, masyarakat harus menyadari prasyarat untuk mulusnya pelayanan JKN dan BPJS Kesehatan. Jaminan kesehatan dengan skema single payerdidasari asumsi kepesertaan yang luas dan pembayaran iuran yang teratur. Itu lah yang harus masyarakat lakukan. Semua rakyat Indonesia diharapkan mendaftarkan diri ikut JKN dan membayar iuran dengan teratur, walaupun saat ini tidak sedang sakit.
Untuk meningkatkan pelayanan, BPJS Kesehatan baru saja menerbitkan aplikasi Mobile JKN. Aplikasi smartphone ini adalah terobosan dalam bidang pendaftaran dan informasi mengenai layanan JKN dan BPJS Kesehatan.