Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

First Travel: Langkah Tepat Pemerintah Tolak Bayar Ganti Rugi

21 Agustus 2017   11:44 Diperbarui: 21 Agustus 2017   11:56 3641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari JawaPos.com

Sistem hukum Indonesia pun tidak sebegitunya kejam dan tidak menjamin ganti rugi bagi korban yang demikian. Kerugian-kerugian yang diderita tentu bisa dituntut ke pihak yang bertanggung jawab melalui tuntutan perdata. Dengan usaha pembuktian yang jelas, Kehakiman sebagai pemegang kuasa yudikatif bisa memaksa pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi. Pembayaran ganti rugi ini terlepas dari dakwaan dan hukum pidana yang harus dibayar secara terpisah kepada pemerintah. Kewajiban perdata tidak menghapus dakwaan pidana, pun juga sebaliknya.

Dengan ulasan ini, maka menjadi jelas siapa yang bertanggung jawab secara hukum untuk mengganti rugi korban First Travel. Untuk lebih diperjelas, aset First Travel pun tidak diambil alih pemerintah melainkan dibekukan untuk mempermudah penegakkan hukum mengingat aset tersebut potensial menjadi barang bukti. Selepas proses hukum pidana, tentu pembekuan tersebut bisa dicabut dan aset bisa digunakan membayar ganti rugi. Jika First Travel menolak, bisa dibawa ke pengadilan perdata agar hakim dan jajarannya memaksauntuk membayar.

Tumpang Tindih Politik dan Hukum

Aksi menuntut ganti rugi dari pemerintah ini adalah refleksi budaya ketidakjelasan dan kebutaan hukum dalam masyarakat Indonesia. Politisi dalam pemerintahan berulang kali melangkahi kewajiban hukum mereka dengan memberi santunan-santunan yang bukan tanggung jawabnya, entah demi melindungi kawan politik atau demi popularitas.

Beberapa preseden buruk seperti ini adalah ganti rugi korban Lapindo yang diambil alih pemerintah pada administrasi Susilo Bambang 'SBY' Yudhoyono. Dengan dalih luapan lumpur Sidoarjo adalah suatu bencana alam, pemerintah mengambil alih beban ganti rugi dan membayarnya dengan uang pajak rakyat. Keputusan ini membebaskan PT Lapindo Brantas, dan pemiliknya, dari tanggung jawab ganti rugi terlepas dari adanya kecurigaan kelalaian yang menyebabkan luapan lumpur tersebut.

Administrasi Joko 'Jokowi' Widodo pun tidak terlepas dari kesalahan yang sama. Pemerintah Jokowi, melalui Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, memberi 'ganti rugi' bagi korban penipuan Dimas Kanjeng dengan dalih mereka adalah korban 'bencana sosial'. Jika ditilik, tentu kejadian tersebut tidak sesuai dengan definisi bencana sosial dalam UU no. 24 tahun 2007 yaitu 'konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat' dan 'teror'.

Politisasi Ganti Rugi

Penyelewengan ganti rugi ini tidak terlepas dari potensi politisasi dari isu-isu ini. 

Dalam atmosfer politik Indonesia yang sangat terpengaruh pencitraan, publik tentu sangat bersimpati terhadap korban. Pemerintah yang menolak membayar ganti rugi, walaupun penolakan ini berdasar hukum, akan terlihat sebagai pemerintah zalim yang tidak memihak rakyat kecil dan tertindas.

Bukan tidak mungkin politisi-politisi oposis yang melihat kemungkinan ini kemudan mengagitasi masyarakat untuk menuntut ganti rugi ke pemerintah. Pihak-pihak yang terancam secara ekonomi (potensial dituntut ganti rugi) juga dapat memanfaatkan dimensi politik ini untuk melarikan diri dari kewajibannya untuk membayar ganti rugi.

Saat ini, politik emosional yang memanfaatkan simpati terhadap korban ini sudah mulai melewati batas. Elit-elit politik dan hukum di negeri ini dengan sengaja menuntun masyarakat ke arah yang salah dengan melempar tanggung jawab ke pemerintah, menyandera pemerintah dengan emosi dan simpati rakyat. Aturan-aturan hukum yang jelas mengatur tanggung jawab hukum dan pembagian kekuasaan pemerintah dikesampingkan demi keuntungan politik, ekonomi, ataupun emosi simpati semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun