Kasus penipuan dana haji yang dialami ribuan orang korban First Travel memasuki babak baru. Eggi Sudjana, (mantan) kuasa hukum First Travel melontarkan wacana pemerintah mengambil alih ganti rugi korban. Alasannya, pemerintah membekukan aset dan ijin usaha First Travel sehingga tidak bisa ganti rugi. Korban yang sudah hilang akal pun mengadu ke wakil rakyat di Senayan.Â
Menteri Agama Lukmah Hakim dengan sigap memberi jawaban atas tuntutan ini: pemerintah tidak akan membayar ganti rugi. Jawaban yang tegas, walaupun kurang populer. Sebagai respon, korban mengancam turun ke jalan pada 25 Agustus mendatang.
Pertanyaannya, apakah ganti rugi korban penipuan adalah tanggung jawab pemerintah? Tentu saja tidak.
Kasus penipuan umrah ini mengajak kita merefleksi kembali peran pemerintah dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Sudah berulang kali terjadi korban kasus hukum menuntut keadilan ke pemerintah. Seolah-olah pemerintah lah yang bertanggung jawab atas segala ketidakadilan yang mereka alami, terlepas dari siapa atau apa pelaku sebenarnya.
Untuk melihat peran pemerintah dalam ganti rugi korban, kita harus menilik kembali konsep pemerintahan Indonesia.
Tanggung Jawab Ganti Rugi Pemerintah
Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan menjadi enam: konstitutif, legislatif, eksekutif, yudikatif, dan eksaminatif. Yang relevan dalam konteks ini adalah eksekutif dan yudikatif.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini memiliki kekuasaan eksekutif: kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan konstitusi dan undang-undang. Definisi pemerintah pun harus diluruskan: pemerintah Indonesia melingkupi presiden, kabinet, dan birokrasi administrasinya.
Sebagai pemegang kuasa eksekutif, pemerintah berwenang dan wajib memberikan ganti rugi pada korban-korban bencana.Tanggung jawab pemerintah ini diatur dalam UU no. 24 tahun 2007 tentang Penganggulangan Bencana. Â Yang dimaksudkan sebagai 'bencana' adalah bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial yang jenis-jenisnya telah diatur secara ketat dalam pasal 1 ayat 2, 3, dan 4.
Dasar filosofis dari pembatasan tanggung jawab ganti rugi pemerintah tentu saja asas keadilan. Pada kasus bencana, tidak ada pihak penanggung jawab yang jelas. Bahkan dalam bencana sosial (e.g. kerusuhan sektarian atau terorisme) pun, hampir tidak mungkin menuntut satu atau sekelompok orang yang jelas untuk bertanggung jawab atas kerusakan dan kerugian yang terjadi. Oleh karena itu, tanggung jawab diambil alih oleh masyarakat sosial yang diwakili pemerintah. Pemerintah pun membayar ganti rugi dengan uang pajak yang dibayarkan masyarakat dan dianggarkan dalam APBN.
Sementara itu, untuk kerugian dengan pihak penanggung jawab jelas, tentu saja tidak adil jika kewajiban ganti rugi dilemparkan ke masyarakat umum. Ibaratnya, saya dan anda, para pembayar pajak, tidak ikut menipu dan merasakan nikmatnya dana haram maka tidak adil jika uang pajak kita yang digunakan untuk meyantuni korban.