'Kalau begini saya jadi menyesal lahir di Indonesia.'
'Malu jadi orang Indonesia.'
'Keadilan sudah mati di Indonesia.'
Tiga kalimat tersebut, dan berbagai varian-nya, banyak kita lihat di media sosial beberapa hari belakangan. Ini adalah bentuk kekecewaan atas putusan bersalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia diputus bersalah menistakan agama dengan ucapan yang dipelintir diluar konteks. Ia diputus bersalah melanggar hukum yang sedari awal kontroversial karena sifatnya yang mudah dipolitisasi dan membatasi kebebasan ekspresi opini.
Lebih dari itu, kata-kata itu adalah puncak kekecewaan yang dipendam sejak bergulirnya bola panas Pilkada DKI Jakarta 2017. Selama berbulan-bulan, media sosial dan konvensional dipenuhi ujaran-ujaran yang memojokkan Ahok, salah satu calon gubernur DKI Jakarta, dengan memanfaatkan etnis dan agamanya.
Sekelompok oknum, dengan secara sepihak mengaku sebagai perwakilan umat agama tertentu, 'melarang' memilih Ahok berdasarkan perbedaan agama dan etnis. Narasi-narasi tersebut mengarahkan masyarakat untuk meragukan nasionalisme dan kesetiaan agama serta etnis tertentu kepada Indonesia. Dengan membangun sentimen anti-Tionghoa, mereka membatasi ke-Indonesiaan pada etnis-etnis 'asli' Indonesia, suatu kelompok yang belum jelas cakupannya. Dengan mempermasalahkan agama Ahok, mereka 'membatasi' hak kepemimpinan Indonesia pada agama mayoritas.
Yang paling mengecewakan: 58% penduduk Jakarta setuju dengan narasi-narasi tersebut.
Apa alasan mereka melakukan itu? Apakah agama dan etnis minoritas 'kurang' ke-Indonesia-annya?
Sejarahnya, Bangsa Indonesia sendiri belum ada hingga 1928. Etnis-etnis Nusantara sibuk berusaha membebaskan daerahnya sendiri. Saat Sumpah Pemuda lah para pemuda pionir dari berbagai etnis inlander, istilah pemerintah kolonial Belanda untuk bangsa jajahannya, menyatakan berbangsa satu: Bangsa Indonesia. Syarat keanggotaan Bangsa Indonesia hanya satu: etnis yang diam di Nusantara di bawah jajahan kolonial Belanda.
Setelah 89 tahun, rupanya ada oknum-oknum yang ingin menambah syarat-syarat kebangsaan Indonesia. Agama dijadikan syarat. Pun juga dengan etnis dan suku bangsa. Mereka melupakan sejarah berdirinya Bangsa Indonesia dan mengeksklusi minoritas, suatu tindakan yang secara eksplisit dihindari para Bapak Pendiri Republik saat penyusunan dasar negara dan undang-undang dasar.
Dalam keadaan ini, apa yang kira-kira akan dipikirkan oleh orang-orang Papua? Bagaimana pula dengan orang-orang Maluku, NTT, dan etnis-etnis minoritas lain yang sebagian besar juga memeluk agama minoritas? Mereka tidak hanya minoritas etnis tapi juga agama. Apakah ke-Indonesia-an mereka dipertanyakan?