Mohon tunggu...
Benny Raharjo
Benny Raharjo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berusaha keras untuk tetap waras. Bekerja di Perusahaan IT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Mental Rupiah

18 Agustus 2014   01:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:17 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seluruh bangsa ini tahu kalau pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta sebagai wakil bangsa Indonesia memproklamirkan kelahiran suatu negara baru bernama Indonesia di muka bumi ini.Soekarno, sebagai presiden terplilih pertama republik baru ini, menyadari bahwa bangsa yang ia pimpin mengidap penyakitinferiority complex yang akut. Akibat terjajah selama 3,5 abad, bangsa baru ini telah kehilangan harga diri dan memandang dirinya rendah dibandingkan bangsa lain terutama bangsa Barat.

Berbagai upaya dilakukan Soekarno untuk menaikan mentalitas bangsa yang masih miskin dan tidak mempunyai kebanggaan atas dirinya sendiri. Soekarno antara lain dengan berani mengajak Indonesia berperan aktif dalam politik luar negeri yang tujuan utamanya adalah menaikan rasa nasionalisme dari bangsa baru yang ia pimpin.

Jerih payah Soekarno tidaklah sia-sia, ia berhasil menaikan rasa nasionalisme bangsa Indonesia sehingga banyak dari kita kini bangga menjadi Indonesia. Walaupun begitu, sifat inferiority complex masih belum benar-benar hilang dari sebagian diri kita. Banyak dari kita yang masih menganggap segala sesuatu yang berasal dari luar adalah lebih baik dibandingkan yang kita punya.

Sifat ini semakin jelas dalam hal penerimaan kita terhadap Dolar AS. Banyak dari kita merasa lebih bergengsi ketika menerima gaji dalam Dolar AS ketimbang menerima gaji dalam Rupiah.

Begitu sering kita melihat di media massa, iklan-iklan produk Indonesia yang ditawarkan dalam mata uang Dolar AS. Begitu banyak bidang usaha yang dalam upaya menaikan gengsi usaha yang ditawarkan, menawarkan produk mereka dalam Dolar AS. Seakan mengatakan produk mereka lebih berkelas, hanya karena menggunakan Dolar AS.

Dan atas fenomena itu, hampir tidak ada upaya dari pemerintah Indonesia untuk mengaturnya. Mungkin hanya Indonesia, negara di dunia yang memperbolehkan transaksi antara sesama warga negaranya menggunakan mata uang asing sebagai mata uang transaksi.

Mungkin hanya Indonesia, satu-satunya negara di dunia yang mata uang Dolar AS mempunyai nilai berbeda-beda, tergantung pada kemulusan lembaran dolar, emisi tahun keluaran dan lain sebagainya. Lembaran Dolar AS yang sedikit tertekuk akan mengalami penurunan nilai. Begitu parah dan akutnya inferiority complex yang diidap bangsa kita, sehingga menjadikan Dolar AS nyaris menjadi berhala.

Saya teringat ketika saya bekerja di suatu perusahaan maskapai penerbangan nasional. Karena perusahaan tempat saya bekerja melayani rute penerbangan ke Singapura, maka otomatis terjadi transaksi antara perusahaan tempat saya bekerja dengan otoritas Changi. Pada saat saya akan melakukan pembayaran, saya meminta mereka untuk memberikan nomor rekening Dolar AS mereka.

Jawaban mereka sungguh membuat saya takjub. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya punya rekening Dolar Singapura. Bayangkan, bandara kelas dunia seperti Changi yang melayani penerbangan dari seluruh dunia tidak punya rekening Dolar AS. Sikap mereka tidaklah menurunkan gengsi Changi sama sekali, bahkan Changi hampir selalu terpilih sebagai bandara terbaik dunia.

Kasus lain yang lebih ekstrim adalah Inggris. Berbeda dengan kebanyakan negara di kawasan Eropa, Inggris memilih tidak bergabung dalam Uni Eropa. Alasan utama mereka adalah karena digunakannya Euro sebagai mata uang tunggal. Bagi Inggris, Poundsterling adalah lambang kedaulatan mereka, sehingga penggunaan Euro sebagai mata uang tunggal buat mereka sama saja dengan penyerahan kedaulatan mereka.

Dengan menggunakan cara berpikir yang sama, hal yang kontras justru terjadi di Indonesia. Sebagian dari kita justru dengan bangga menyerahkan kedaulatan kita sendiri ketika secara sadar meminta Dolar AS sebagai mata uang transaksi.

Kita jangan dulu berbicara mengenai nasionalisasi aset yang akan menuai masalah hukum. Kita jangan dulu berbicara tentang sengketa wilayah dengan negara tetangga. Kita lakukan dulu hal yang memang sudah menjadi hak dan kewajiban kita yang tidak mempunyai implikasi hukum sama sekali.

Beranikah kita bersikap seperti Changi?

Bisakah kita tetap dengan kepala tegak ketika menerima Rupiah?

Selama kita belum bisa melakukannya maka sejatinya kita masih terjajah. Adalah benar kalau dikatakan kita adalah bangsa budak. Kita sendiri yang menjadikan diri kita budak dan terjajah.

Selamat ulang tahun Ibu Pertiwi. Dirgahayu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun