Sejarah mencatat Islam mencapai kejayaannya pada 750M- 1258M. Pada saat Islam mencapai kejayaannya tersebut, Eropa justru sedang dalam masa kegelapan (Dark Ages).
Pada periode itu, jazirah Arab begitu megah. Kemegahan itu tidak terjadi begitu saja. Hal itu dimungkinkan karena ilmu pengetahuan pada periode itu berkembang dengan pesat. Banyak ilmuwan tersohor yang memberikan kontribusi besar pada kemajuan ilmu pengetahuan hadir pada masa keemasan itu.
Mereka dilahirkan oleh suatu kebijakan penguasa pada masa itu - Khalifah Abbasiyah - yang mendasarkan kebijakannya pada ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang menekankan nilai pengetahuan. Untuk itu mereka menggulirkan “Gerakan Menterjemahkan” untuk menterjemahkan berbagai tulisan dari segala penjuru dunia kedalam bahasa Arab. Dan kemudian dunia akhirnya mencatat lahirnya tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Sina (Avicenna) dan masih banyak lagi yang lain.
Masa keemasan Islam berakhir pada pertengahan abad 13 ditandai dengan kejatuhan Baghdad kepada tentara Mongol. Perlahan-lahan kejayaan Islam tenggelam. Dalam kampanyenya, tentara Mongol menghancurkan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan seperti madrasah dan perpustakaan. Hal ini menyebabkan tradisi ilmu pengetahuan tidak lagi digalakkan di kawasan yang dimusnahkan.
Beruntung sebelum kejadian itu, sudah banyak buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa Arab yang telah mulai diterjemahkan ke bahasa-bahasa Eropa. Salah satu buktinya adalah terjemahan hasil karya Ibnu Sina yang berjudul Qanun (The Canon of Medicine) menjadi rujukan awal para dokter di seluruh daratan Eropa pada masa itu. Penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa Arab tersebutlah yang kemudian mengantarkan Eropa memasuki era Kelahiran Kembali atau Renaissance pada abad ke-14, tak lama setelah era kejayaan Islam berakhir.
Pada abad ke-18 kemajuan Eropa semakin bertambah ketika Eropa memasuki periode Pencerahan (Age of Enlightenment) yaitu masa ketika terjadi pergerakan intelektual yang kuat yang mendorong pemikiran-pemikiran ilmiah dan bardasarkan alasan.
Kemajuan Eropa dan dunia Barat ini kemudian memberi inspirasi kepada Jepang untuk melakukan perubahan besar-besaran yang dikenal dengan Restorasi Meiji pada pertengahan abad ke-19. Salah satu kebijakan yang diambil oleh penguasa Jepang apada periode itu adalah kebijakan menterjemahkan berbagai buku ilmu pengetahuan kedalam bahasa Jepang. Selain itu mereka juga mengirimkan banyak siswa-siswa terplilih Jepang ke Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan guna mengejar ketertinggalan mereka.
Belajar dari sejarah tiga kebudayaan berbeda, saya melihat satu kesamaan ketika ketiga kebudayaan tersebut memasuki masa kejayaan mereka. Ketiga-tiganya melakukan “Gerakan Menterjemahkan” buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa mereka sendiri.
Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf Romawi, dalam bukunya yang berjudul de Orator, mengatakan, “Historia vero testis temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntia vetustatis. (Sejarah adalah saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup, guru kehidupan dan pesan dari masa silam).”
Oleh karena itu - berdasarkan fakta-fakta sejarah tersebut di atas - saya mengusulkan pada pemerintah terpilih nanti, agar kita – Indonesia – juga melakukan hal yang sama, yaitu menterjemahkan seluruh buku ilmu pengetahuan yang ada kedalam bahasa kita sendiri – Bahasa Indonesia.
Buku-buku hasil terjemahan itu kemudian disebarkan ke seluruh penjuru Nusantara melalui pendirian perpustakaan-perpustakaan wilyah yang memadai. Bersaaman dengan itu harus dilakukan kampanye “Mencintai Buku” dalam berbagai bentuk melalui berbagai media yang ada. Insya Allah Indonesia akan mengikuti tiga kebudayaan tersebut di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H