Mohon tunggu...
Bhenz Maharadjo
Bhenz Maharadjo Mohon Tunggu... -

Terlahir di Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1987. Hanyalah lelaki biasa yang mencoba menikmati hidup secara sederhana. Suka kesunyian. Mencoba melawan ketidakadilan dan menjunjung tinggi Pluralisme.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mener, Pengawal Mister Presiden yang Terlupakan

26 Januari 2014   17:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki tua berkopiah putih tampak berjalan membungkuk di depan rumah bernomor 50, Kampuang Melayu, Kelurahan Olo, Kecamatan Nanggalo, Padang. Pak tua itu bukan sembarang orang. Dia pencipta sejarah. Pada darahnya, mengalir darah juang.

Mener nama pak tua itu. Umurnya sudah 82 tahun. Sangat renta. Sesekali dia berhenti. Sekadar menarik nafas, lalu melangkah lagi. Tangan kanannya, kokoh memegangi tongkat bambu, penyanggah tubuhnya yang ringkih dilumat usia. Kerapuhan mengggerogoti tulangnya yang cuma dibalut kulit tipis berbulu kasar.

Renta demikian, pendengaran Mener masih tajam. Matanya tak rabun. Setidaknya, dia masih bisa membaca Naar de Republiek Indonesia, buah tangan Datuk Ibrahim Tan Malaka [Revolusioner asal Pandan Gadang] tanpa berkacamata. Gigi lelaki beranak 16 itu juga utuh.

Di balik keringkihannya, siapa kira Mener adalah satu dari sebelas orang pengawal utama Syafruddin Prawiranegara, *[Pejuang kemerdekaan RI yang menjabat sebagai Presiden/Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia -PDRI-, merangkap Menteri Pertahanan serta Menteri Penerangan dan Urusan Luar Negeri ketika pemerintahan RI di Yogyakarta dikuasai Belanda setelah agresi militer yang kedua tanggal 19 Desember 1948].

Masa kecil dilaluinya dengan tragis, mayat bergelimpangan sudah jdi tontonan biasanya. “Banyak yang mati sia-sia. Hati saya tergerak untuk berjuang mengusir penjajah. Tak ada niat lain waktu itu selain ikut ke medan tempur. Bangga sekali rasanya kalau berada dalam barisan tentara. Apalagi waktu mencegat mobil belanda yang melewati jalan Kampung melayu ini,” kata Mener.

Berbagai kisah heroik sudah dilewati Mener. Di angkatannya, Mener dikenal tak berpantang dalam berperang. Ahli strategi dan penyusup yang handal. “Uda Men (sapaan Mener), lihai sekali dulu. Yang saya tahu, dia kebal peluru,” kata Rasiar, warga Kampung Malayu yang usianya terpaut 8 tahun dengan Mener. Rasiar, adalah saksi aksi Mener dalam melawan penjajah.

Mener adalah orang yang memastikan keselamatan Presiden “darurat” PDRI itu kala bergerilya. Kemana saja langkah Prawiranegara dia ikut. Tak peduli siang atau malam, Mener selalu ada. Rimba Bidar Alam, Pasaman, Limapuluh Kota, Pandan Gadang hingga ke Koto Tinggi dia rambah. Bergerilya sekaligus mengabarkan kalau Indonesia masih ada, mesti Sukarno ditawan belanda.

*********************

Lahir di Kota Padang tahun 1927, Mener kecil mengenyam pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs [MULO], tapi tak tamat. Dari sekolah itu, dia peroleh ilmu tulis baca. Selepas sekolah, Mener tak merantau. Suami Hakima itu memilih bertahan di Padang. Kala itu, suasana berkecamuk. Belanda betul-betul beringas. Sejumlah pemuda tawanan, bahkan dibunuh. Dijejerkan di tepian Batang Kuranji lalu ditembaki. Mayatnya, diceburkan saja ke sungai. Tapi, Mener remaja tak bisa apa. Dia terlalu kecil untuk berjuang. Tapi, benih-benih pemberontakan, kebencian kepada penjajah terus dijaganya. “Waktu itu dua pilihan. Diam terjajah atau melawan terjajah,” kata Mener.

Tahun 1942, penjajahan Belanda tamat di tanah air. Belanda pergi, Jepang masuk. “Dapat kabar demikian, hati girang, karena kabarnya Jepang saudara tua Indonesia. Jepang orang Asia yang berjuang untuk Asia. Tidak seperti Belanda, yang menjajah sedemikian parah. Tapi, ternyata itu hanya kamuflase,” tutur Mener.

Jepang masuk ke Padang. Seiring dengan itu, dilaksanakan serah terima kekuasaan atas Padang antara Jepang dan Belanda. Awalnya, Jepang menyiarkan slogan “Asia untuk Asia” melalui agen-agen mereka sehingga warga Padang, Sumatera Barat umumnya menyambut kehadiran Jepang dengan cukup antusias. Terutama rakyat yang tidak mengerti sama sekali dengan perkembangan politik global. Di Padang sendiri, Soekarno yang pada masa awal kedatangan Jepang berada di Padang, bahkan meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia di Padang agar mau bekerja sama dengan Jepang.

**

Di kota Padang pada awal Maret 1943, Jepang menangkapi serdadu-serdadu KNIL dan para pegawai bangsa Belanda. Mereka digiring ke Plaint Rome. Lapangan luas di pusat kota ini (sekarang Taman Imam Bonjol) adalah tempat awal di mana para tawanan perang dibariskan dan didata untuk kemudian dikirim ke penjara. Serdadu-serdadu Jepang melingkari lapangan itu dengan senjata terkokang mengawal para calon interniran (sandera). Sementara beberapa pribumi tampak diakomodasi untuk mengawal para interniran bangsa Eropa.

Pada tanggal 17 Maret 1943, para internir bangsa Eropa itu mulai dimasukkan ke penjara di Padang. Pada awal April hingga pertengahan Juli, setidak-tidaknya, penjara terbesar untuk kawasan Sumatra’s Westkust itu dihuni tidak kurang dari 100 tawanan perang. Penjara Padang semakin padat ketika pada April, 200 tawanan perang dari Fort de Kock juga dikirim ke Padang.

Disebabkan kepadatan kapasitas, seluruh tawanan perang yang terdapat di penjara Padang pada tanggal 17 dan 18 Oktober 1943, dengan berbagai jenis transportasi, dikirim ke camp Unie Kampong, sebuah kamp khusus laki-laki yang dengan tergesa-gesa dibangun Jepang di Bangkinang. Kecuali yang tidak dikirim adalah 8 orang yang sakit, serta anak-anak, dan para wanita. Anak-anak dan para wanita dikirim secara bergelombang satu dan dua bulan setelah itu, yaitu pada November hingga Desember 1943, mereka dikirim ke camp khusus wanita dan anak-anak, juga di Bangkinang.

Pada awal tahun 1944, 3 buah truk dari Jambi kota tiba membawa tawanan perang ke Padang. Tidak jelas alasan pengiriman, tetapi tampaknya, permindahan tawanan perang dari satu penjara ke penjara lain adalah hal yang umum belaka pada masa Jepang. Pada April 1944, para tawanan perang yang ada di Padang itu (sekali lagi) didrop ke Bangkinang.

Namun, pada bulan berikutnya, 14 Mei 1944, sebanyak 1.937 tahanan perang dari Batalion 10 KNIL yang bermarkas di Batavia dikirim ke Padang dengan kapal uap. Mereka dirumahkan di penjara Padang, untuk besoknya dikirim ke Pekanbaru mengerjakan rel kereta api. Pada 16 September 1944, tiga bulan setelah kedatangan kapal pertama, sebuah kapal uap mendarat lagi di Teluk Bayur membawa interniran dari Pulau Jawa. Kapal perang angkatan laut Jepang itu membawa 4200 romusa dan 2300 tahanan perang lagi-lagi dari Batalion 10 KNIL. Mereka semuanya dimasukkan ke penjara Padang sampai tanggal 22 September 1944. Pada 22 September mereka dibawa ke Taratakboeloeh, 17 km dari selatan Pekanbaru, untuk bekerja membangun jalur kereta api.

Kenang-kenangan yang ditinggalkan para tawanan perang bangsa Belanda tentang masa-masa dalam kamp tampak menyakitkan. Mereka menyebut periode itu sebagai “tahun-tahun keras dan tanpa masa depan”. Dalam kamp Jepang, catatan bangsa Eropa menerangkan bahwa, kekerasan dan kekejaman terhadap para tawanan perang itu juga dialami oleh perempuan. Pemerkosaan terhadap beberapa tawanan perempuan adalah hal yang juga sering disebut-sebut. Untuk yang terakhir sering disebutkan dilakukan terhadap gadis-gadis remaja. Mereka diambil paksa dari kamp-kamp interniran.

Pada umumnya, sebelum diambil paksa dari kamp-kamp interniran, serdadu Jepang terlebih dahulu memerika daftar penghuni kamp. Setelah melakukan seleksi, wanita-wanita muda bangsa Eropa dan Indo-Eropa yang terpilih itu dibawa keluar kamp dengan sejumlah bus yang telah disiapkan. Mereka dikumpulkan pada sebuah tempat khusus disatukan bersama wanita-wanita yang dipilih dari berbagai kamp. Menyadari nasib buruk yang akan dia diterima, seorang gadis remaja Indo-Belanda di Jambi, Rita la Fontaine, harus menyamar menjadi seorang laki-laki agar terhindar dari perlakuan buruk serdadu Jepang di dalam kamp. #sumberhttp://inioke.com/Rubrikasi/1088-Orang-Belanda-dalam-Kamp-Jepang-di-Padang.html

*

Kembali ke Mener, pada tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Padang. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Ada juga pembentukan tentara sukarela yang dinamai inti Divisi Banteng. Mener bergabung di sana, sebagai tentara sukarela. Dengan harapan, dia bisa member sumbangsih ke pada negeri. “Waktu itu, saya berpikir, jadi Gyu Gun adalah satu-satunya jalan untuk bisa berbakti ke negeri ini. Di sana, kami dilatih,” terang Mener.

Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Padang, Jepang pada awalnya tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke dalam bahasa Jepang seperti, Sumatra’s Westkust menjadiSumatra Neishi Kaigun Shu, asisten residen menjadi bun shuco, afdelingmenjadi bun, dan lain sebagainya.

Hal ini disebabkan karena bangsa Jepang yang datang pertama kali adalah serdadu-serdadu yang tidak mengerti soal pemerintahan sipil. Selain itu, Jepang masih menggunakan pegawai-pegawai pribumi yang sebelumnya bekerja dengan Belanda. Bahkan, Jepang tidak melarang rakyat mengibarkan bendera Merah Putih bergandengan dengan bendera Hinomaru. Rakyat diberi kebebasan untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan, sekolah-sekolah ataupun organisasi-organisasi yang bergerak di bidang sosial, terutama mengurangi ekses akibat perang.

Keadaan seperti yang digambarkan di atas tersebut tidak berlangsung lama di Indonesia. Setelah Jepang merasakan makin terdesak oleh pasukan gabungan Sekutu, keramahan Jepang terhadap rakyat mulai berbalik seratus delapan puluh derajat. Apalagi keperluan finansial bagi perang menghadapi Sekutu makin meningkat, sementara sumber penghasilan tidak bertambah. Oleh karena itu, kebijakan eksploitasi tenaga kerja rakyat untuk kepentingan Jepang mulai terlihat. Rakyat di sejumlah tempat di Indonesia dipaksa bekerja pada pabrik-pabrik. Penyiksaan-penyiksaan kejam terhadap rakyat yang membangkang oleh Kempetai terlihat di mana-mana. Kebebasan para pemimpin rakyat dibatasi, demikian juga organisasi dan perkumpulan hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatan yang berorientasi pengabdian bagi kepentingan Jepang.

Mener juga merasakan pahit demikian. Lewat tengah malam, usai latihan tentara sukarela, dia diculik. “Kmai dibawa pakai truk tertutup ke daerah Loge (daerah Riau-red). Di sana, jadi romusha. Membuat rel kereta api. Tak terhitung deraan yang diterima. Tapi tak bisa melawan. Jepang berkuasa. Bahkan saya pernah tak dikasih makan sehari penuh. Pahit sekali rasanya. Harga diri terinjak. Pas pendudukan Jepang, kehidupan lebih parah. Karung beras dijadikan baju. Makan tak menentu,” ucap Mener

***

Setelah Jepang menyerah pada sekutu, Mener dan ratusan kawannya bebas dari pekerjaan sebagai romusha. Dia kembali ke Kota Padang. Indonesia merdeka. Gegap gempita negeri, karena bebas dari jerat penjajah. “Waktu kembali ke Padang, saya sudah seperti mayat hidup. Tinggal kulit pembalut tulang. Bau busuk karena jarang mandi,” ungkap Mener mengulang cerita.

Tersiksa demikian, Mener tidak patah semangat. Dia kembali bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR), yang merupakan kumpulan tentara bentukan Jepang. “Tersiar kabar waktu itu, Belanda masuk lagi ke Indonesia. Dibawa sekutu, kami kembali merapatkan barisan. Kembali angkat senjata demi bangsa. Kemerdekaan Indonesia dirongrong,” papar Mener.

Pada 19 Desember 1948, kota Jogjakarta diduduki oleh Belanda. Soekarno dan Hatta kemudian ditangkap untuk diasingkan ke Pulau Bangka. Rupanya sebelum ditangkap, sang Dwi-tunggal sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara. Sehingga pada tanggal 22 Desember 1948, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan Mr Syafruddin Prawiranegara, sebagai Ketua PDRI. Kantor Pemerintahan Indonesia saat itu, antara lain berpindah dari Jogjakarta ke Bidar Alam, Sumatra Barat. Mener ikut bersama Syafruddin Prawiranegara. Dia menjadi pengawal atau lazim disebut ajudan presiden.

“Saya pernah ditembaki belanda dari jarak dekat. Bau mesiu menyengat, letup bedil tak henti-henti. Tiarap di balik semak pinggir, hanya itu yang bisa dilakukan. Belanda pergi, saya berdiri. Memang tak ada yang luka, tapi baju saya sudah bolong-bolong diterjang timah panas. Percikan mesiu tinggal di kulit. Tapi seorang teman saya mati. Perutnya ditembus peluru,”tutur Mener. Keningnya berlipat-lipat mengingat kembali kejadian yang pernah dilewatinya.

Jadi pengawal Syafruddin, Mener yang memiliki 16 anak melanglang buana, merajai hutan ranah minang untuk bergerilya. Tak terhitung lagi kontak senjata yang dilakoninya. Satu per satu kawannya ambruk, tapi Mener tetap bertahan menjaga sang presiden.

Sejak itu, PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda. Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. Perlawanan PDRI di Sumatra dilakukan dengan membentuk 5 wilayah pemerintahan militer. Sehingga menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia, pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Keadaan ini memaksa Belanda untuk menghadapi RI di meja perundingan, yang nantinya menghasilkan kesepakatan yang bernama Perjanjian Roem-Royen. Dengan perjanjian ini, kembalilah ibu kota Jogjakarta ke tangan Soekarno. “Tugas kami juga selesai mempertahankan keberadaan Indonesia,” sebut Mener.

Setelah perang dengan penjajah usai, KBR dibubarkan dan berganti nama jadi Tentara Rakyat Indonesia, Mener dikasih nomor registrasi 195183. Mener kembali menata hidupnya. Akan tetapi, sebelum benar-benar menjalani kehidupan normal, Mener kembali lagi terpanggil untuk kembali ke medan perang. Ketimpangan pembangunan antara Jawa – Sumatera membuat perang saudara pecah tahun 1958. Syafruddin diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah.

Mener pun ikut berjuang, melawan ketidaksetaraan itu. Dia kembali pasang badan untuk Syafruddin Prawiranegara yang memimpin pergerakan.

“Saya mengawal pak Syaf saat bergerlya. Di Payakumbuh, Koto Tinggi kami berpindah-pindah. Dia orangnya gigih. Kami memberontak. Tentara Pusat menggila, menembaki prajurit PRRI. Waktu itu rasa persaudaraan putus. Tentara pusat sangat beringas. Tapi kami melawan ketimpangan. Berpantang menyerah,” lanjut Mener sembari menyeruput air putih.

Namun pemberontakan ini hanya berlangsung kurang dari setahun. Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI. Mener juga demkian. Tugasnya tamat. Mener akhirnya bisa hidup tenang dengan menjadi petani dengan istrinya di Kmapung Malayu, Padang.

Banyak kisah heroik yang dilewati bekas tentara Barisan Keamanan Rakyat (BKR) itu, tapi tak ada yang tahu, Mener seolah ditinggalkan sejarah. Untuk hidup, dia hanya mengandalkan santunan veteran yang diterima sekali sebulan. Kegarangannya membela negeri ini seakan tak masuk hitungan. Tak pernah ada yang dating untuk bertanya padanya tentang sejarah negeri, termasuk seberapa dia bertempur. Mener kesepian di tengah derap pembangunan negeri ini. Padahal, apa yang dilakukannya untuk negeri, tak ada duanya.

Ya, Mener mungkin tak segagah Tan Malaka, tak pula setenar Buya Hamka, tapi apa yang pernah dilakukannya mungkin tak ada dua. Dia berjuang tanpa imbalan, tanpa hasrat untuk memperkaya diri. Mener layak jadi contoh, untuk kita generasi penerus bangsa. Saat ini, angkatan Mener hanya bersisa lima orang. Selebihnya sudah wafat. Pantas kiranya penghormatan diberikan kepada Mener, si ceking yang pantang menyerah demi Indonesia! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun