Mohon tunggu...
Benny Malem
Benny Malem Mohon Tunggu... lainnya -

Hidup itu dinamis. Semangat adalah motor penggerak. Berbuat adalah manifestasi. Berkarya adalah amal ibadah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapapun Bisa Jadi Presiden

3 Mei 2018   23:16 Diperbarui: 3 Mei 2018   23:40 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapapun boleh jadi presiden. Asal dia masih jadi warga Negara Indonesia. Tidak memandang suku, agama, ras dan aliran. Selama masih sehat dan waras lahir bathin, semua orang punya hak untuk jadi presiden. Namun begitu, tidak semua bisa antri seperti nonton bioskop, mau daftar jadi presiden. Semua harus ikut aturan dan undang-undang. Sebab kalau tidak ada aturan dan undang-undang dan semua orang ingin jadi presiden, lalu siapa yang mau jadi rakyat?. Dulu memang ada presiden yang tidak punya rakyat, sehingga presiden bebas kemana saja. Jangan kaget, Itu cuma ada pada taksi.

Jadi presiden itu dekat dengan kekuasaan. Malah bisa genggam kekuasaan. Lebih lagi jadi presiden Republik Indonesia, punya prestise dan kebanggaan luar biasa. Sebagai Negara besar dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia bagaikan dewi cantik nan genit  di tengah pesona para pendosa. Semua berebut ingin menggapai sang dewi walau cuma dapat sendal. Konon, kalau tidak terbentur aturan dan undang-undang Republik Indonesia, Barrack Obama, Bill Clinton, bahkan Jacky Chan, orang Padang yang sukses di Hong Kong, pun berminat mau jadi presiden (lagi) di Indonesia. Memang Indonesia penuh daya pikat dan magis.

Jadi presiden Indonesia itu susah-susah gampang. Susah, kalau pakai jalur independen, mungkin harus punya dukungan suara jutaan KTP dan juga nunggu UU dibuat dulu. Belum semua KTP terkumpul, presiden terpilih sudah dilantik. Ngenes. Kalau lewat parpol setidaknya parpol harus punya minimal syarat 20% threshold di DPR. Bila belum cukup, maka jalan koalisi jadi pilihan. Skema jadi berubah karena ada tarik menarik atau tawar menawar calon yang akan diajukan. Ongkos politik pun jadi semakin besar. Ribet dah.

Bila punya nama tenar dan cukup punya mental kuat, ditambah pandai tebar pesona, maka modal mau jadi presiden jauh lebih gampang. Partai cukup sebagai kendaraan dan mesin penopang elektabilitas saja. Calon mesti jadi actor utama dalam menarik dukungan dan pengumpulan suara. Tidak perlu tampan, gagah atau jenius. 

Kapasitas biasa-biasa saja dan tampang ndeso asal mampu menterjemahkan apa yang menjadi harapan dan keinginan rakyat, kemudian diformulasikan dalam kebijakan pro rakyat, serta dilaksanakan secara konsisten, maka peluang terpilih terbuka lebar. Rakyat Indonesia sesungguhnya rakyat yang baik dan manut terhadap pemimpin.

Alm. Pak Harto bisa berkuasa selama 32 tahun itu bukan karena beliau ahli jadi presiden. Semua itu karena rakyat Indonesia terlalu baik, nerimo. Saking nerimo, maka selama 32 tahun diapa-apakan Pak Harto tidak ada protes dan demo sampai berjilid-jilid. Di samping itu, harus diakui bahwa Pak Harto termasuk presiden yang mampu menjaga stabilitas keamanan dan pangan secara baik. Aman dan perut kenyang adalah cara jitu untuk bikin Negara tenang dan damai. Mestinya calon presiden nanti bisa tiru cara pintar Pak Harto me-nerimo-kan rakyat.

Zaman telah berubah. Sistem pun berubah. Jadi presiden sekarang tidak boleh lebih dari 10 tahun atau 2 periode. Cara untuk jadi presiden pun berbeda. Sekarang boleh keluarkan statement apa saja dalam upaya menarik perhatian dan dukungan. Statement ngawur, tidak rasional, hoax, fitnah bahkan serang lawan politik, seolah sah-sah saja dan menjadi bagian dari strategi politik. Karena selama ini tidak ada tindakan hukum apapun dari pihak berwajib terhadap hal semacam itu. Masih diberi ruang tampaknya. Entah nanti jelang pilpres 2019. "Perang" di medsos antar simpatisan pun gencar layaknya Star War di Galaxy.  Saling sumpah serapah nggak karuan. Jagat medsos jadi polusi.

Begitu menarik jabatan presiden, sehingga banyak mengundang minat tokoh dari berbagai kalangan mencoba mengundi nasib menjadi presiden. Diantaranya, bahkan saking ngebetnya mau jadi presiden, sudah berani deklarasi walau persyaratan minimal untuk capres belum terpenuhi. Ada pula yang nyeleneh, maksudnya psywar ke lawan politik dengan #hastag ganti pelayan, tapi pelayan yang buat menggantikan masih kerja di tetangga. Sehat?. Pokoknya pilpres 2019 kali ini penuh dengan atraksi menggelikan, sarat penjungkirbalikan nalar, akrobat politik, dan bertopeng kemunafikan.

Rakyat Indonesia sekarang sudah  banyak belajar dari pengalaman pilkada dan pilpres, sehingga sudah bisa berpikir rasional dan lebih waras. Bagi calon presiden yang masih suka putar lagu lama dengan tema memojokkan pesaing, maka jangan berharap banyak bisa menarik penggemar.  Alih-alih berharap menang, bertahan pada posisi aman pun kiranya jauh panggang dari api. Sebaiknya, hindari penggunaan mantera affirmasi negative seperti : bocor, bocor, bocor, dan memang terbukti bocor betulan lumbung suara. Kalah. Lebih bagus gunakan mantera affirmasi positif seperti : maju lagi, maju lagi, maju lagi dan semoga benar-benar bisa maju (lagi). Barangkali bisa mengalahkan mantera : kerja, kerja, dan kerja!.

0o0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun