Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Work-Life Balance dan Fenomena Quiet Quitting

14 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 14 Desember 2024   13:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Work-Life Balance dan Fenomena Quiet Quitting (freepik.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep work-life balance telah menjadi salah satu isu paling penting dalam dunia kerja. Salah satu fenomena yang mencerminkan kebutuhan akan keseimbangan ini adalah quiet quitting, yaitu tren di mana pekerja hanya menjalankan tugas yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka tanpa memberikan usaha ekstra. Fenomena ini, yang sebagian besar didorong oleh generasi muda, menandakan pergeseran nilai di mana kehidupan pribadi lebih diprioritaskan dibandingkan ambisi untuk mengejar karir semata. Artikel ini akan membahas kaitan antara work-life balance dan quiet quitting, serta dampaknya terhadap dunia kerja modern.

Seiring dengan perubahan budaya kerja, generasi muda, khususnya generasi milenial dan Gen Z, menunjukkan pergeseran prioritas dari kerja keras tanpa batas menuju kehidupan yang lebih seimbang. Pandemi COVID-19 juga berperan besar dalam memperkuat kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, kebahagiaan, dan waktu berkualitas di luar pekerjaan.
Quiet quitting bukanlah tanda kemalasan, melainkan ekspresi dari ketidakpuasan terhadap budaya kerja yang menuntut produktivitas berlebihan tanpa penghargaan yang memadai. Banyak pekerja merasa bahwa upaya tambahan yang mereka lakukan sering kali tidak dihargai, baik secara finansial maupun emosional, sehingga mereka memilih untuk membatasi kontribusi mereka hanya pada tugas yang diwajibkan.

Work-Life Balance sebagai Faktor Utama
Konsep work-life balance adalah kunci untuk memahami fenomena quiet quitting. Ketika pekerja merasa bahwa pekerjaan telah mengambil alih hidup mereka, mereka cenderung mencari cara untuk mengembalikan keseimbangan. Generasi muda lebih terbuka untuk menetapkan batasan antara kehidupan pribadi dan profesional, dengan tujuan menghindari burnout yang dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental.

Beberapa faktor yang mendorong pentingnya work-life balance di era modern antara lain:
1. Kesadaran Kesehatan Mental: Pekerja kini lebih sadar akan risiko stres dan tekanan yang berlebihan di tempat kerja.
2. Teknologi dan Mobilitas Kerja: Fleksibilitas yang diberikan oleh teknologi memungkinkan pekerja untuk menyesuaikan waktu kerja mereka.
3. Perubahan Nilai Generasi:Generasi muda memandang karir bukan sebagai satu-satunya sumber identitas, melainkan bagian dari hidup yang lebih luas.

Dampak Quiet Quitting terhadap Dunia Kerja
Fenomena quiet quitting membawa dampak signifikan bagi perusahaan dan tenaga kerja. Di satu sisi, hal ini memicu organisasi untuk mengevaluasi kembali budaya kerja mereka. Perusahaan yang ingin mempertahankan karyawan perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan hidup dan memberikan penghargaan atas kontribusi karyawan secara adil.

Namun, di sisi lain, quiet quitting juga memunculkan tantangan baru, seperti menurunnya inovasi dan produktivitas di beberapa industri. Jika karyawan hanya melakukan pekerjaan minimum, perusahaan dapat kesulitan untuk mencapai target ambisius mereka.

Solusi untuk Mencapai Keseimbangan
Untuk mengatasi masalah ini, baik perusahaan maupun karyawan perlu bekerja sama menciptakan solusi yang berkelanjutan:
1. Fleksibilitas Kerja: Memberikan opsi kerja fleksibel seperti *remote working* atau jam kerja yang dapat disesuaikan.
2. Penghargaan yang Adil: Menghargai kontribusi karyawan melalui insentif finansial dan non-finansial.
3. Pelatihan dan Dukungan Mental: Menyediakan program pengembangan diri dan dukungan untuk kesejahteraan karyawan.
4. Komunikasi yang Transparan: Membangun dialog terbuka antara manajemen dan karyawan untuk memahami kebutuhan masing-masing.

Fenomena quiet quitting adalah cerminan dari pergeseran budaya kerja menuju fokus yang lebih besar pada work-life balance. Generasi muda telah mengajarkan pentingnya menghargai kehidupan pribadi tanpa mengorbankan produktivitas di tempat kerja. Meskipun membawa tantangan, fenomena ini juga memberikan peluang bagi organisasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Dengan pendekatan yang tepat, quiet quitting dapat menjadi pemicu perubahan positif dalam dunia kerja modern.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun