Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sertifikasi Juru Dakwah: Perlu atau Tidak?

9 Desember 2024   09:55 Diperbarui: 9 Desember 2024   10:00 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua MUI Cholil Nafis saat menghadiri Wisuda Akbar Standardisasi Dai MUI di Jakarta, Sabtu (30/11/2024). Foto: Dok. Istimewa (kumparan.com)

Juru dakwah atau da'i memiliki peran strategis dalam menyampaikan ajaran agama kepada umat. Sebagai perantara antara ilmu agama dan masyarakat, juru dakwah tidak hanya dituntut memahami ajaran agama secara mendalam, tetapi juga mampu menyampaikannya dengan cara yang baik, relevan, dan menyentuh hati audiens. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul wacana mengenai perlunya sertifikasi bagi juru dakwah untuk memastikan kualitas dan kompetensi mereka. Namun, gagasan ini menuai pro dan kontra. Artikel ini akan membahas alasan di balik perlunya sertifikasi juru dakwah, serta argumen-argumen yang menentang gagasan tersebut.

Argumen Mendukung Sertifikasi Juru Dakwah

  1. Menjamin Kualitas dan Kompetensi
    Sertifikasi bertujuan untuk memastikan bahwa juru dakwah memiliki standar kompetensi tertentu dalam memahami dan menyampaikan ajaran agama. Di tengah maraknya informasi agama yang tersebar, termasuk yang keliru atau menyesatkan, penting untuk memastikan bahwa dakwah yang disampaikan memiliki landasan keilmuan yang kuat dan sesuai dengan ajaran agama. Dengan sertifikasi, juru dakwah akan diuji kemampuannya dalam memahami kitab suci, hadits, dan hukum-hukum agama serta cara menyampaikannya dengan hikmah.

  2. Mencegah Penyebaran Paham Radikal
    Dalam beberapa kasus, juru dakwah yang tidak memiliki pemahaman agama yang mendalam berpotensi menyampaikan ajaran yang menyimpang atau bahkan radikal. Sertifikasi dapat menjadi salah satu mekanisme untuk meminimalkan risiko ini dengan memberikan pelatihan dan pengawasan terhadap isi dakwah yang disampaikan. Hal ini akan menciptakan suasana keberagamaan yang lebih damai dan harmonis di masyarakat.

  3. Meningkatkan Profesionalisme
    Seiring berkembangnya zaman, profesi juru dakwah juga diharapkan memiliki standar profesionalisme tertentu. Sertifikasi dapat menjadi pengakuan formal atas kompetensi seorang juru dakwah, sehingga mereka dapat lebih dihargai dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Profesionalisme ini mencakup kemampuan berkomunikasi yang baik, etika dakwah, serta pemahaman terhadap konteks sosial dan budaya audiens.

  4. Melindungi Umat dari Dakwah yang Tidak Bertanggung Jawab
    Tanpa adanya mekanisme sertifikasi, masyarakat rentan terhadap penyebaran ajaran agama yang tidak bertanggung jawab. Beberapa juru dakwah mungkin hanya bermodalkan popularitas tanpa memiliki ilmu agama yang mumpuni. Dengan adanya sertifikasi, masyarakat dapat lebih selektif dalam menerima dakwah dan merasa lebih yakin terhadap kredibilitas juru dakwah.

  5. Adaptasi terhadap Tantangan Modern
    Dunia dakwah kini tidak hanya terjadi di mimbar-mimbar masjid, tetapi juga di platform digital seperti media sosial. Ini menuntut juru dakwah untuk memahami dinamika digital dan etika dalam berkomunikasi di ruang publik. Sertifikasi dapat mencakup pelatihan terkait penggunaan media digital secara bijak untuk menyampaikan pesan agama yang positif dan membangun.

Argumen Menolak Sertifikasi Juru Dakwah

  1. Dakwah adalah Tugas Semua Muslim
    Dalam Islam, setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk berdakwah sesuai kapasitasnya. Membuat dakwah sebagai profesi yang memerlukan sertifikasi dapat dianggap membatasi peran umat Islam dalam menyampaikan ajaran agama. Ini dapat menimbulkan kesan bahwa hanya individu yang bersertifikat yang berhak berdakwah, sehingga mengurangi semangat dakwah di kalangan masyarakat umum.

  2. Risiko Monopoli dan Politisasi
    Sertifikasi juru dakwah dapat menimbulkan kekhawatiran adanya monopoli oleh pihak tertentu, seperti pemerintah atau organisasi tertentu, yang menentukan siapa yang berhak berdakwah. Hal ini dapat berujung pada politisasi dakwah, di mana isi dakwah diatur sesuai dengan kepentingan pihak yang berwenang. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merugikan independensi dakwah dan kebebasan beragama.

  3. Sulit Mengukur Kompetensi Dakwah
    Dakwah bukan sekadar kemampuan menyampaikan ajaran agama secara teoritis, tetapi juga melibatkan akhlak, ketulusan, dan pengaruh emosional terhadap audiens. Aspek-aspek ini sulit diukur melalui mekanisme sertifikasi formal. Ada kemungkinan bahwa juru dakwah yang lulus sertifikasi secara teknis belum tentu mampu menyampaikan dakwah yang efektif dan menyentuh hati masyarakat.

  4. Potensi Menambah Beban Birokrasi
    Implementasi sertifikasi juru dakwah memerlukan sistem administrasi yang kompleks, termasuk penyusunan kurikulum, pelaksanaan pelatihan, dan proses evaluasi. Hal ini berpotensi menambah beban birokrasi yang justru menghambat proses dakwah itu sendiri. Selain itu, sertifikasi bisa menjadi ladang komersialisasi, di mana juru dakwah diwajibkan membayar biaya untuk mendapatkan sertifikat.

  5. Menimbulkan Perpecahan di Kalangan Umat
    Gagasan sertifikasi dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam, terutama jika terdapat perbedaan pandangan mengenai kriteria yang digunakan untuk menentukan kelayakan seorang juru dakwah. Perbedaan ini dapat berujung pada polemik yang tidak produktif, sehingga mengganggu keharmonisan umat.

Alternatif Solusi

Jika sertifikasi juru dakwah dianggap terlalu kontroversial, beberapa alternatif solusi dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas dakwah tanpa menimbulkan dampak negatif:

  1. Peningkatan Pelatihan dan Pendidikan Non-Formal
    Daripada membuat sertifikasi formal, pemerintah atau organisasi keagamaan dapat menyediakan program pelatihan dan pendidikan non-formal bagi juru dakwah. Program ini dapat mencakup pelatihan komunikasi, pengetahuan agama, dan pemahaman budaya.

  2. Pengawasan oleh Masyarakat dan Ulama
    Pengawasan terhadap isi dakwah dapat dilakukan secara kolektif oleh masyarakat dan para ulama. Dengan demikian, setiap juru dakwah akan merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan dakwah yang benar dan sesuai dengan ajaran agama.

  3. Pemanfaatan Teknologi untuk Penyebaran Dakwah Positif
    Dalam era digital, platform online dapat digunakan untuk menyaring dan mempromosikan konten dakwah yang berkualitas. Juru dakwah yang memiliki keilmuan yang baik dapat diberikan ruang lebih besar di media untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Sertifikasi juru dakwah adalah isu yang kompleks dengan argumen kuat di kedua belah pihak. Di satu sisi, sertifikasi dapat meningkatkan kualitas dakwah dan melindungi masyarakat dari penyimpangan ajaran agama. Namun, di sisi lain, sertifikasi juga memiliki potensi untuk membatasi kebebasan dakwah, menciptakan monopoli, dan menambah beban birokrasi.

Solusi terbaik mungkin terletak pada upaya kolektif untuk memperbaiki kualitas dakwah tanpa menciptakan hambatan baru. Dakwah harus tetap inklusif, terbuka, dan berlandaskan pada semangat keikhlasan serta tanggung jawab moral. Dengan pendekatan yang bijak dan seimbang, kualitas dakwah di masyarakat dapat terus ditingkatkan tanpa menimbulkan kontroversi atau perpecahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun