Hari ini saya menyambut Hari Buku Nasional dengan membuat membuat perayaan kecil di laman Facebook saya. Saya meminta followers untuk memposting rak buku rumah mereka. Reaksinya ternyata di luar dugaan. Dalam beberapa jam saja pesertanya sudah lebih dari 30 orang. Ada perasaan senang melihat rak buku masih menjadi bagian terpenting di rumah teman-teman Facebook saya.
Rak-rak buku itu ada yang berbentuk lemari besar lengkap dengan kaca dan aksesoris penghias. Ada juga berupa rak dinding yang minimalis. Beberapa rak ada yang tampak seadanya dan nyaris ambruk karena muatan buku yang berlebih. Tak sedikit yang mendesain secara khusus  rak bukunya sehingga menyatu dengan ruangan.
Saya sendiri memiliki banyak cerita tentang rak buku. Sejak kecil, perabotan rumah tangga yang menjadi impian saya bukanlah sebuah sofa empuk ataupun kursi goyang, melainkan rak buku. Saya lahir di sebuah keluarga tentara yang tak begitu memerhatikan keberadaan rak buku. Novel koleksi ibu saya menumpuk di bagian bawah lemari ruang tamu bersama majalah dan koran. Sementara koleksi buku saya ditumpuk begitu saja di pinggir ranjang, sebagian bercampur dengan baju di lemari.
Sebagian kecil beberapa komik. lama kelamaan koleksi buku saya makin bertambah, dan mulai tidak muat, sehingga lagi-lagi menumpuk di bagian pinggir tempat tidur serta bercampur dengan baju, ibu saya membelikan rak rotan yang saat itu sedang tren. Rak rotan yang dijual keliling itu saya tahu harganya tidak murah. Apalagi dibeli oleh ibu saya yang hanya janda seorang tentara tanpa bekerja.
Rak rotan itu saya tidak tahu sampai kapan keberadaannya karena saya terus berpindah-pindah tempat saat kuliah. Membuat saya frustasi untuk memiliki sebuah rak buku. Paling saya menitipkan buku-buku saya di lemari buku milik saudara. Tentu saja sebagian akhirnya hilang. Itu sebabnya, setiap kali membeli buku, saya membacanya berulang-ulang sampai puas. Sampai kalau hilang, saya merelakannya.
Saat saya menikah dan memiliki rumah, perabot yang saya beli dengan senang hati pertama kali adalah  rak untuk koleksi buku saya. Mulai ukuran kecil, lalu sedang, hingga akhirnya yang nyaris menyentuh langit-langit kamar.Â
Ternyata dengan memiliki rak buku, keinginan untuk mengisinya dengan buku sampai penuh terus hadir. Lama-lama, tetap saja banyak buku yang tidak tertampung. Sampai akhirnya saya berpikir, untuk apa buku-buku akhirnya mati di lemari buku?Â
Perlahan tapi pasti, saya mulai mengeluarkan buku-buku dari rak. Agak berat hati awalnya, karena setiap buku yang saya miliki memiliki cerita, di luar isi buku itu sendiri. Sama seperti lemarinya yang juga punya cerita. Tapi saya harus memaksakan diri untuk menyeleksi buku yang benar-benar harus saya pertahankan. Terutama buku bertandatangan penulis dan buku-buku hadiah.
Pada Hari Pendidikan Nasional lalu, Presiden Jokowi menggelontorkan gagasan gerakan donasi 10.000 di hadapan pegiat literasi di Istana Negara, Jakarta. Saya mendengar Komite Buku Nasional (KBN) dalam waktu singkat dapat mengumpulkan sumbangan 25.000 buku hanya dalam waktu tiga hari kerja.Â
Rencananya, buku-buku itu akan digelontorkan ke rak-rak buku Taman bacaan masyarakat (TBM) di Indonesia. Dan saya berharap gerakan ini terus bergulir dan  jumlah itu akan terus bertambah. Apalagi jika teman-teman Facebook saya, yang lemari bukunya sudah penuh sesak, merelakan sebagian koleksi bukunya untuk dipindahkan kepada sejumlah TBM atau koordinator donasi buku.
Saya kok sangat yakin, seandainya buku-buku itu bisa bicara, maka mereka akan lebih berterima kasih karena dipindahkan kepemilikannya sehingga bisa dibaca lebih banyak orang, ketimbang ngendon di rak buku.Â
Cinambo, Harbuknas 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H