Semula saya mengira ini keajaiban. Mata plus saya tiba-tiba tidak mau kooperatif dengan kacamata baca saya. Layar di komputer tak terbaca jelas. Akhirnya saya mencoba membaca tanpa kacamata, semua jelas terbaca. Bahkan teks di ponsel yang biasanya buram bila dibaca tanpa kacamata, kini menjadi jelas layaknya saya membaca sebelum mata saya plus.
Apakah ini berkah Ramadan? Itulah pikiran saya karena kejadian tersebut saya alami hari pertama masuk Bulan Ramadan. Saya merasa senang tentunya. Tapi kok lama kelamaan saya merasa ada sesuatu yang lain dengan penglihatan saya. Pandangan saya buram kalau melihat jauh. Jika bangun tidur juga saya merasa merasa ada yang berbeda dengan mata di sebelah kanan saya.
Ini pasti ada sesuatu.
Hari ketujuh Ramadan saya menyengajakan diri untuk memeriksa mata ke optik di sebuah mall. Hasilnya bikin saya ketar-ketir. Mata kiri saya bagus, tapi mata kanan saya ada gangguan dan dianjurkan untuk segera pergi ke dokter.
Ke dokter mata? Hmm, saya menimbang-bimbang sebentar. Ya mungkin inilah saatnya memanfaatkan keanggotaan BPJS Kesehatan saya. Selama ini saya bayar iuran BPJS Kesehatan tapi tidak pernah dipakai. Rugi dong saya.
Jadi Tahu Rasanya ke Puskesmas Lagi
Pada 14 Juni 2016 ini, akhirnya saya mengunjungi Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) lagi. Entah sudah berapa puluh tahun saya tidak menginjak Puskesmas. Apalagi sejak saya menjadi karyawan sebuah perusahaan swasta 12 tahun lalu. Bila sakit, tidak pernah terlintas periksa ke Puskesmas. Langsung ke rumah sakit swasta maupun dokter keluarga, baik saya, isteri maupun anak.
Semua biaya pengobatan tinggal klaim ke kantor dengan mudah karena saya memiliki fasilitas biaya kesehatan sampai plafon tetentu selama setahun. Bila jumlah plafon terlewati, barulah kami harus membayar sendiri dari dompet. Tapi jarang sekali kami sampai menembus plafon tahunan.
Pukul 07.30 saya tiba di Puskesmas Cipamokolan, Bandung. Itu pun setelah saya tanyakan letaknya kepada satpam komplek. Suasana parkir masih sepi, jadi saya masih bisa memilih tempat parkir dengan nyaman. Kemudian, hanya dengan membaca papan petunjuk, saya tiba di loket pendaftaran. Saya perhatikan situasinya.
Pertama, saya ambil nomor pendaftaran. Saya ditanya mau daftar umum atau BPJS? Setelah saya jawab BPJS sambil menyerahkan kartu BJPJS, kemudian saya diminta menunggu bersama puluhan pasien yang sudah datang.
Sekitar 30 menit kemudian saya dipanggil, ditanya lagi, BPJS yang bayar atau gratis? Saya jawab bayar. Lalu saya diminta mengisi formulir. Tepatnya sih sekadar mengisi nama dan tanda tangan. Karena isian lainnya akan diisi petugas. Kartu BPJS saya sudah ditandai di ujung kanannya. Entah apa, karena tak jelas.
Saya kemudian menuju ruang tunggu tak jauh dari pintu masuk. Saya mendapat nomor 15 jadi saya pikir tidak akan menyita waktu lama menunggu. Sambil menunggu nomor panggilan, saya bertanya kepada perempuan setengah baya di sebelah saya.
"Bu, pakai umum atau BPJS?" tanya saya.
"BPJS," jawab si Ibu.
"Sama atuh. Iuran yang berapa?" tanya saya lagi.
"Ibu mah dikasih sama kelurahan kartu BPJS-nya," jawab Ibu itu.
Saya tersenyum karena si Ibu mulai dipanggil ke ruang dokter.
Sosialisasi BPJS Kesehatan banyak saya dapat dari atasan saya. Sebagai peserta BPJS Kesehatan awal, Beliau punya cerita menyentuh bagaimana dia harus pontang-panting mencari biaya pengobatan untuk cangkok ginjal suaminya. Tapi sejak ada BPJS, hampir tak sepeser pun uang yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan suaminya.
Jujur saja, lebih dari setahun memiliki kartu BPJS Kesehatan, kami sekeluarga belum pernah memanfaatkannya. Kebetulan saya masih dapat plafon kesehatan di kantor walaupun jumlahnya tak sebanyak dulu. Rasa malas ke faskes primer seperti Puskesmas, ditambah cerita antrean panjang dan datang subuh ke rumah sakit rujukan untuk pengguna BPJS Kesehatan, merupakan alasan untuk pergi ke dokter tanpa kartu BPJS Kesehatan.
Dari hasil laporan BPJS Kesehatan pun saya mendengar uang kesehatan yang dikeluarkan BPJS di lingkungan kantor per tahun ternyata lebih kecil ketimbang biaya kesehatan yang biasanya harus dikeluarkan kantor per tahun sebelumnya. Sementara iuran BPJS Kesehatan yang dikeluarkan masih lebih besar ketimbang biaya kesehatan karyawan. Sekilas kantor jadi rugi. Penyebab rendahnya dana yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk karyawan bisa jadi karyawan enggan menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan karena takut ribeut, jadi kalau nggak sakit parah ya ditahan saja atau pakai obat warung. Kalau pun mau berobat, biasanya non BPJS Kesehatan.
Seiring waktu berlalu, dan pelayanan di beberapa rumah sakit di Bandung makin membaik terhadap peserta BPJS Kesehatan, karyawan di kantor semakin banyak yang memanfaatkan fasilitas tersebut. Termasuk saya. Karena saya cuman berpikir, jika saya terus membayar iuran tanpa pernah menggunakan fasilitas yang disediakan kok merasa rugi ya.
"Pak Benny!"
Saya beranjak dari duduk dan langsung menuju ruang periksa. Dokter yang saya temui perempuan bernama dr. Budhi. BM. Saya pun langsung menceritakan masalah saya. Lalu saya menyatakan keinginan saya," Kalo bisa dirujuk ke Rumas Sakit Mata Cicendo, Dok."
"Mulai beberapa waktu lalu sudah tidak bisa lagi seperti itu. Dari faskes satu harus dirujuk ke rumah sakit daerah dulu. Nanti kalo rumah sakit daerah merasa perlu dirujuk ke RS Cicendo, mereka yang akan merujuk. Bukan dari faskes pertama," jelas Bu Dokter.
Saya pun diberikan beberapa pilihan rujukan. Saya memilih ke Rumah Sakit Al Islam karena relatif dekat rumah. Saya pun diberi surat rujukan oleh Bu Dokter. Surat itu kemudian saya bawa kembali ke ruang pendaftaran untuk mendapat cap.
Tinggal tunggu besok di RS Al Islam Bandung. Saya akan buat catatan terpisah nanti.
Bayar Gotong Royong
Sampai kantor saya masih memiliki PR di kepala, kemanakah uang iuran yang kita bayarkan jika tidak terpakai?
Akhirnya saya browsing dan menemukan postingan ini di Facebook.
Begini penjelasan lengkapnya:
Dari uraian di atas jelas bahwa untuk menutupi biaya cuci darah sebulan saja dibutuhkan 168 orang yang membayar uang bulanan BPJS Kesehatan sebesar Rp.59.500. Dan itu hanya bisa ditutupi dari iuran peserta lain yang tidak terpakai. Inilah yang dimaksud dengan prinsip 'Gotong Royong'.
Peserta BPJS seperti saya yang belum menggunakan dana BPJS Kesehatan atau yang tidak pernah sakit, usah merasa iuran itu akan sia-sia. Karena iuran itu bisa jadi digunakan unuk menutupi biaya pengobatan rekan kerja kita, kerabat, saudara, atau bahkan diri kita sendiri di masa datang. Kita tidak pernah tahu kan jika kita akan sakit dan membutuhkan dana besar. Mungkin, seperti sakit mata saya kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H