[caption caption="Seperti pasar. Foto: Benny)"][/caption]Â
Kurang dari tiga bulan menjelang pameran buku internasional Frankfurt Book Fair 2015, hati saya merasa miris di ajang JakBook dan EduFair 2015. Di Frankfurt nanti, Indonesia akan menjadi tamu kehormatan sehingga secara otomatis akan mengundang pertanyaan banyak pihak, seberapa hebat perkembangan perbukuan di Indonesia. Di Jakbook dan Edu Fair yang digelar 27 Juli hingga 3 Agustus lalu, saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa nelangsanya stand penerbit buku karena sepi pengunjung.
Jakbook dan Edu Fair sendiri relatif ramai dikunjungi warga Jakarta dan sekitarnya, bahkan pihak Bank DKI menyebut berhasil menutup total transaksi sekitar Rp8,3 milyar. Sebuah nilai yang cukup tinggi untuk sebuah ajang pameran buku. Sayangnya, seperti yang saya lihat sendiri, keramaian warga dan pengeluaran belanja pengunjung bukan di stand-stand penerbit buku, melainkan pada kebutuhan lain untuk sekolah, yakni buku tulis, seragam, dan sepatu. Produsen ketiga benda tersebut bukan berada di bawah bendera IKAPI sebagai penyelenggara.Â
[caption caption="Antre membeli seragam sekolah. (Foto: Benny)"]
Saya melihat sendiri betapa susah payahnya para penjaga stand penerbit buku menarik pengunjung yang seliweran di depan mereka, bahkan antre membeli seragam. Bahkan jarang-jarang stand pameran buku sampai harus berteriak-teriak memakai pengeras suara berkali-kali.
"Ayo, bapak ibu. Masuk dulu, bu. Di sini juga ada buku pelajaran, buku masakan. Silakan masuk dulu, lihat-lihat,bu," begitu teriakan yang nadanya seperti tipis harapan.
Hasilnya? Hanya segelintir yang masuk ke dalam stand, dan hanya satu atau dua yang akhirnya membeli.
[caption caption="Perlu evaluasi. (Foto: Benny)"]
Saat saya tanya seorang ibu dengan anaknya berusia 10 tahun, maksudnya datang ke pameran memang buat membeli seragam anaknya. "Saya ke sini nggak kepengen beli novel atau buku bacaan. Nggak ada yang suka baca," katanya yang mengaku bernama Royani.
Saya juga merasakan hal yang aneh di pameran ini, karena warga yang datang tampak tidak sedang mendatangi sebuah ajang pameran buku. Banyak ibu-ibu berdaster dan sesekali melihat bapak-bapak bersinglet. Sampai-sampai saya pikir, bagaimana kalau panitia Frankfurt Book Fair melihat ini?
Masih ingat dalam benak saya ketika betemu Vice President Frankfurt Book Fair Claudia Kaiser usai mengunjungi Islamic Book Fair beberapa bulan lalu. "Sangat kotor dan tidak tertib. Saya heran, padahal orang-orang yang bikin acara ini sudah bolak-balik lihat pameran buku di luar negeri, termasuk Frankfurt Book Fair," ucapnya.