Poster Soekarno tersenyum seolah gembira melihat Karnaval Asia Afrika ini. (Foto: Benny)
Sebuah perhelatan bertajuk Karnaval Asia Afrika digelar Sabtu, 25 April 2015. Saya mendatangi acara itu meskipun informasi waktu dimulainya arak-arakan yang saya dapat simpang siur. Secara keseluruhan acara, lumayan berhasil. Meskipun soal kenyamanan menyaksikan bagi warga yang menonton masih jadi nomor sekian.
Saya tiba di kawasan Alun-alun Bandung sekitar pukul 09.00. Wargasudah ramai berdatangan di sekitar Gedung Merdeka.Jalan Asia Afrika yang akan menjadi jalur karnaval pun tampak steril dari kendaraan bemotor. Beberapa fotografer amatir dan professional sudah beraksi, sebagian lagi mulai menempati posisi strategis.
Pukul berapa acara akan dimulai? Menurut keterangan dari akun twitter resmi penyelenggara, karnaval akan digelar pukul 13.00. Namun ketika saya bertanya kepada salah seorang panitia, acara dimulai pukul 07.00. Nyatanya pukul 10.00 acara belum juga dimulai, sementara warga yang datang kian banyak.
Warga dari berbagai usia yang memadati kedua sisi Jalan Asia Afrika, tepatnya di depan Gedung Merdeka mulai tak sabar menunggu. Ditambah makin banyaknya warga yang datang. Sehingga beberapa kali relawan harus ‘mengusir’ warga yang menginjak aspal jalan agar pindah ke trotoar.Sebagian menuruti permintaan panitia, sebagian pura-pura tak mendengar karena ingin mendapatkan tempat strategis.
Bu Halimah, warga yang datang dari Kopo bersama keponakan dan cucunya tampak berusaha mengawal terus keluarganya di sisi jalan. Sedikit ribeut begitu cucunya mulai merengek kesal acara tak kunjung dimulai.
Langit kian mendung, tapi saya belum melihat tanda-tanda karnaval dimulai, kecuali panitia yang mondar-mandir dan fotografer yang berkalung ID khusus. Beberapa warga mulai keluar dari kerumunannya karena rintik hujan pun turun.
“Ini sih bisa jadi Bandung Lautan Payung,” kata Bu Halimah sambil membuka payungnya.
Saya yang juga menunggu di dekat Gedung Merdeka enggan beranjak meskipun baju mulai basah. Lewat pukul 11.00 dari kejauhan suara aba-aba karnaval mulai terdengar. Dan rasanya lega ketika melihat rombongan pramuka sebagai rombongan karnaval terdepan berjalan di depan Gedung Merdeka. Dilanjutkan dengan orang-orang berkostum Internasional, rombongan marching band, beberapa komunitas di Bandung, bus Bandros, termasuk atraksi seni sisingaan.
Ada yang lucu ketika rombongan sisingaan ini lewat. Di rombongan ini ada dua singa yang dipanggul. Satu diduduki remaja putri yang tampaknya berusaha tersenyum meskipun tegang. Satu lagi seorang anak lelaki yang juga tegang. Ketika para penandu berjoget, anak lelaki itu sempat berteriak,"Tong tarik-tarik teuing atuh!" Maksudnya, jangan keras-keras mengguncangkan tandu. Karuan penonton di dekatnya tertawa.
Wajah-wajah ceria warga yang menonton langsung memupus kelelahan menunggu. Anak-anak terlihat ekspresif karena mereka ikut berjoget, bersorak dan bertepuk tangan ketika karnaval lewat di depannya. Walaupun kadang mereka harus menahan dorongan orang dewasa yang merangsek, kerap juga panitia yang malah berdiri menghalangi pandangan anak-anak. Saya jadi terpikir agar di acara seperti ini kelak, disediakan satu area khusus untuk anak-anak agar bisa menyaksikan karnaval dengan nyaman.
Saya juga melihat sejumlah warga lansia di antara penonton. Begitu antusias menyaksikan karnaval, walau kadang harus terseret warga yang lebih muda dan enggan mengalah.
Karnaval sempat dihentikan sejenak ketika adzan dari Masjid Raya berkumandang Dan dilanjutkandengan rombongan sepeda ontel sebagai ekornya. Lagu mars seperti Halo-Halo Bandung dan Manuk Dadali mendominasi acara karnaval tersebut.
Acara kemudian beralih dengan atraksi komunitas bela diri Merpati Putih di depan alun-alun. Saya melihat atraksi seru seorang anak dengan mata tertutup menebak nilai uang kertas tanpa menyentuhnya.
Lepas pukul 13.00 saya memutuskan untuk pulang. Begitu puladengan beberapa warga yang semula memadati Jalan Asia Afrika. Saya mengira karnaval sudah berakhir. Selain itu, sebagai warga biasa yang ingin menyaksikan Karnaval Asia Afrika secara keseluruhan, merasa sedikit kurang nyaman. Rasanya benar-benar menjadi warga kelas dua dibandingkan tamu undangan, panitia, relawan, ataupun pengisi acara.
Saya pun melihat Bu Halimah mengajak keponakan dan cucunya ke taman alun-alun, bermain bola yang dibeli secara sembunyi-sembunyi di tangga parkir seharga Rp.10.000.
Yang bikin sesak dada adalah ketika tiba di rumah dan melihat foto-foto karnaval di akun Facebook Kedutaan Besar India. Di halaman depan akun itu tampak beberapa foto penari India beraksi di jalan. Padahal atraksi merekalah yang sejak awal menarik minat saya datang ke karnaval.
Semoga Karnaval Asia Afrika ini dapat digelar setiap tahun. Tentu saja dengan informasi acara yang lebih jelas dan lengkap. Termasuk di web Indonesia Travel. Juga memerhatikan kenyamanan para warga biasa yang hendak menikmati karnaval tersebut. Saya rasa karnaval ini memang diselenggarakan untuk dinikmati warga, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H