Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Uji Nyali di Babu Market

15 April 2015   11:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:04 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_410163" align="aligncenter" width="461" caption="Pintu masuk ke Babu Market (foto: Benny)"][/caption]

Biarpun sedang dinas, mampir ke tempat belanja oleh-oleh merupakan agenda yang tak boleh terlewatkan saat ke luar negeri. Apalagi ke negeri seperti India. Beruntunglah saya diantar staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di New Delhi ke pasar tradisional di kawasan Sarojini.

Pesan pertama yang diingatkan kepada saya adalah agar selalu menawar di bawah 50%. Bahkan barang dengan label fixed price pun tetap bisa ditawar. Wuah! Ini benar-benar uji nyali buat saya yang tidak bisa menawar sadis. Untunglah, saya gabung dengan rombongan ibu-ibu yang tentunya lihai menawar.

[caption id="attachment_410164" align="aligncenter" width="461" caption="Harus berani nawar. (Foto: Benny)"]

14290721771753243136
14290721771753243136
[/caption]

Sarojini berada di barat daya  kota New Delhi. Wilayah ini begitu terkenal karena kejadian bom Delhi pada 29 Oktober 2005.  Dulu kawasan ini dikenal dengan nama Vinay Nagarand, namun kemudian diganti dengan nama pahlawan wanita India, Sarojini Naidu.

Ada beberapa bagian di area Sarojini, salah satunya adalah Babu Market yang terletak di bagian barat laut. Di sisi inilah saya masuk. Mata saya langsung terbelalak melihat beberapa lapak menjajakan pakaian, aksesoris dan bagian fashion lainnya dengan warna-warni terang.

[caption id="attachment_410165" align="aligncenter" width="480" caption="Beli kain tetap harus teliti. (Foto: Benny)"]

1429072226639668926
1429072226639668926
[/caption]

Pengunjung saat itu sangat ramai karena hari Minggu. Di kota New Delhi, jumlah mall sangat sedikit dan letaknya jauh di pinggir kota. Pemerintah setempat berusaha menumbuhkan ekonomi rakyat dengan mempertahakan keberadaan pasar tradisional. Keren. Kan? Setahu saya, di beberapa kota di eropa letak mall dan pasar grosir banyak diletakkan di pinggir kota. Biar nggak macet.

Saya berusaha menguji nyali dengan menawar gelang kroncong (kangna) yang tadinya seharga Rp100.000-an menjadi Rp.20.000-an saja. Hore saya lolos. Setelah itu saya menawar tas jinjing. Berhasil juga. Tapi ketika menawar pasmina, mati-matian saya menawar, harga tak juga turun. Saya menyerah. Ujung-ujungnya saya mengekor saja dari ibu-ibu di rombongan yang jauh lebih lihai.

Menurut saya, harga-harga di sini memang terbilang murah. Karena saya juga pernah blusukan ke Pasar Baru, Mangga Dua dan Tanah Abang jadi bisa membandingkan. Bahan untuk baju kurtha (kain luar, kain dalam dan salwar/selendang) yang biasanya di atas Rp500.000 di sini bisa jatuh Rp.300.000-an. Apalagi kalau belinya lusinan. Cuman tetap, jangan kalap mata main asal pilih. Karena ada beberapa bagian dari kain yang tidak mulus.

[caption id="attachment_410166" align="aligncenter" width="470" caption="Ngajak selfie pedagang biar dikasih harga murah. (Foto: Benny)"]

14290723291576957051
14290723291576957051
[/caption]

Di toko-toko kain ini saya tidak bisa berlama-lama karena saya sadar betul dengan kondisi dompet saya dan juga bagasi. Saya tahu diri, di rombongan ini pangkat saya adalah yang terendah, sementara yang lain adalah para owner penerbitan yang uang sakunya tentu lebih banyak. Untuk menghibur diri, saya keliling memotret situasi pasar.

Icip-icip Choley Bhature

[caption id="attachment_410158" align="aligncenter" width="461" caption="Kios jajanan yang padat pembeli. (foto: Benny)"]

14290713191630507712
14290713191630507712
[/caption]

Sebenarnya saya memang sudah diwanti-wanti dengan jajanan di India. Tapi ketika melihat sejumlah orang belanja dan makan di sebuah pojokan, air liur saya pun menetes.  Akhirnya saya mengabaikan kerisauan soal sakit perut dan ikut antre di Mahendra Sweet House.

[caption id="attachment_410159" align="aligncenter" width="461" caption="Dapurnya di luar bikin penasaran icip-icip. (Foto: Benny)"]

1429071387937656388
1429071387937656388
[/caption]

Saya memutuskan untuk memesan Choley Bhature karena bentuknya yang menggoda. Harganya di bawah Rp15.000 yang jika dibeli di restoran di Jakarta mungkin bisa lima kali lipat. Sempat juga untuk membeli jajanan lainnya. Tapi saya tahan dulu karena nanti malah nggak kemakan. Karena antre, saya harus menunggu beberapa menit sebelum akhirnya disodorkan ke muka saya.

[caption id="attachment_410160" align="aligncenter" width="461" caption="Sedapnya choley bhature. (Foto: Benny)"]

1429071452573076772
1429071452573076772
[/caption]

Sebelum ini, saya sudah biasa makan berbagai jenis roti India yang pipih. Baru kali ini menggelembung. Rasanya? Coba sendiri ya. Kalau saya sih, karena memang suka masakan India, langsung angkat dua jempol. Tapi untuk menikmatinya agak repot. Tempat duduk di sekitar toko sudah penuh, sehingga saya harus standing party dengan pembeli lainya. Oh, iya karena paling enak memang makan tanpa sendok, jangan lupa cuci tangan dong.

[caption id="attachment_410161" align="aligncenter" width="461" caption="Berbagai usia makan dengan santai. (foto: Benny)"]

1429071584719157102
1429071584719157102
[/caption]

Sesudah makan saya sempat melirik ke tempat pencucian alas makan.  Hmm, airnya sudah hitam. Begitu pula lapnya. Hahaha, untung saja saya sudah beres makan. Dan selama beberapa hari di India, perut saya masih baik-baik saja ternyata.

Ya, setidaknya saya sudah membuktikan uji nyali di sini, mulai dari menawar harga sampai mencicipi jajanannya.

^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun