Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mampukah Jokowi Kembalikan Kejayaan Program KB?

10 Oktober 2014   21:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:34 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga Berencana sudah waktunya

Janganlah diragukan lagi

Keluarga Berencana besar maknanya

Untuk hari depan nan jaya

(Mars Keluarga Berencana)

Kedua orangtua saya sama-sama dilahirkan dari keluarga besar, yakni sepuluh  bersaudara. Hal yang lumrah untuk mereka yang berkeluarga sebelum era 1960-an. Entah bagaimana rasanya kakek dan nenek saya bisa merawat anak sebanyak itu. Saya sendiri lahir di keluarga yang dibentuk akhir 1960-an.  Orangtua saya merasa cukup hanya dengan memiliki tiga anak.

Sebagai generasi yang lahir di era 1970-an, saya merasakan benar upaya keras pemerintah menjalankan program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang dicanangkan sejak akhir tahun 1970.  Pemerintah merasa berkepentingan menahan laju tingginya tingkat kelahiran pada dekade itu.

Kampanye besar-besaran di semua media massa, serta program yang serentak dan menyebar, membuat keberhasilan program KKB mulai dirasakan pada dekade 1980-an ketika terjadi penurunan proporsi penduduk di bawah 15 tahun. Dinamika perubahan struktur umur ini berdampak pada menurunnya proporsi penduduk non produktif dan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif.

Saya merasakan benar bahwa saat itu, sanak saudara yang menikah pada 1970-an akhir hingga 1980-an merasa cukup hanya dengan memiliki dua anak. Bahkan seolah malu jika ada orangtua yang memiliki banyak anak. Sebuah kampanye program  nasional yang relatif berhasil.

[caption id="attachment_365357" align="alignnone" width="595" caption="Angka TFR periode tahun 1970- 2002, (sumber: BKKBN)"][/caption]

Sayangnya, program KB ini tidak melulu berjalan lancar.  Keberhasilan menurunkan angka kelahiran total (TFR) dari 5,6 anak per wanita tahun 1971 menjadi 2,6 anak per wanita pada tahun 2002 tidak berlanjut. Sejak 2002 hingga 2012, angka TFR tersebut cenderung tidak berubah.

TFR merupakan gambaran mengenai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan dari usia 15 sampai 49 tahun. Perbandingan angka TFR dapat menunjukkan keberhasilan sebuah wilayah dalam melaksanakan pembangunan sosial ekonominya.  Angka TFR yang tinggi merupakan cerminan rata-rata usia kawin yang rendah,  tingkat pendidikan yang rendah terutama perempuan, tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi. Selain itu tentu saja menunjukkan tingkat keberhasilan program KB yang dilaksanakan.

Angkatan saya yang rata-rata menikah di dekade 1990-an dan 2000-an pun tampak skeptis dengan program KKB. Tidak sedikit teman-teman yang berkeluarga memiliki anak lebih dari dua. Bahkan menghampiri jumlah anak-anak dari kakek dan nenek mereka. Padahal mereka berlatar pendidikan tinggi dan mengetahui manfaat ber-KB.

Jangan tanyakan soal ber-KB kepada masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Saya pernah bertemu tukang ojek seusia saya memiliki tujuh anak, dari isteri pertamanya saja. Ada juga seorang anak yang pernah saya temui sedang mengemis menyebut dirinya memiliki empat saudara yang sudah mengemis sejak bayi.

Salah satu penyebab stagnannya angka TFR, disebutkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Fasli Jalal pada Seminar Internasional Potensi Demografi pada 2013,  karena diberlakukannya pendelegeasian kewenangan pengelolaan program KB  dari  Pusat ke daerah yang cenderung terlambat, yaitu baru dilakukan tahun 2004, padahal UU Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan Otonomi Daerah sudah diterbitkan sejak 1999 (kemudian diamandemen menjadi UU No 32/2004).

Demikian pula dengan  Peraturan Pemerintah turunannya Nomor 121 tahun 2001 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah (kelak kemudian diamandemen menjadi PP No. 38 Tahun 2007 perihal yang sama), ditindaklanjuti relatif terlambat. Hal tersebut berdampak terhadap relatif berkurangnya perhatian dan komitmen Pemerintah Kab/kota terhadap program KKB, yang berlangsung hingga hari ini.

Terbukti dari hasil asesmen  Biro Perencanaan BKKBN pada tahun 2012 terhadap sampel representatif 15 kab/kota di Indonesia, komitmen pengalokasian  anggaran APBD tingkat Kab/Kota untuk SKPD KB kab/kota masing-masing, menunjukkan rentang proporsi anggaran berkisar 0,04 - 0,2%. Dengan kata lain, komitmen Pemkab/kota tentang pentingnya penggarapan bidang KKB masih sangat kecil atau minim, apabila dibandingkan prioritas pembangunan yang lain.

Padahal, kurangnya perhatian terhadap program kependudukan khususnya KB, secara signifikan akan berdampak terhadap program kependudukan daerah yang ujungnya berimbas ke nasional. Antara lain ditunjukkan dengan fakta tidak  turunnya angka TFR selama 10 tahun terakhir.

Penduduk Indonesia akan mencapai tingkat penggantian manusia (replacement level) apabila TFR turun mencapai 2,1 pada tahun 2015. Pada saat 'tingkat penggantian manusia’ ini seorang Ibu akan digantikan oleh seorang anak perempuan untuk meneruskan keturunan tetapi tidak menghasilkan pertambahan penduduk yang tinggi yang tidak terkendali.

Untuk pencapai tingkat penggantian manusia tersebut tentunya  program KB masih harus terus digalakkan. Pelaksanaan program KB tersebut harus disertai peningkatan kualitas pelayanan dan berorientasi kepada pelayanan kebutuhan dan keluhan klien dan tidak hanya mengejar target semata.

Kementrian BKKBN di Pemerintahan Jokowi

Rencana  pembentukan Kementerian Kependudukan/BKKBN  di dalam kabinet yang kelak dipimpin Joko Widodo diharapkan mengembalikan KKB menjadi skala prioritas program pemerintah. Jangan sampai dengan tingkat TFR yang masih tinggi membuat kita kehilangan manfaat bonus demografi. Sejarah pernah mencatat keberhasilan program KBB diharapkan nantinya mampu merajut kembali sendi-sendi keberhasilan KKB yang memudar dan hampir kehilangan momentumnya.

Terkait dengan revolusi mental, Kementrian BKKBN bisa pula dilibatkan sejak dini melalui program pembentukan karakter positif sejak dini. Karena di tangan anak-anak sekaranglah akan lahir tumbuh generasi emas pada masa bonus demografi.

Dengan dikembalikannya program KKB ke pusat, apalagi setingkat kementrian, tentunya kendala yang membuat TFR stagnan tidak akan terjadi.  Adapun beberapa harapan dan usulan untuk mengoptimalkan peran Kementerian BKKBN di masa datang terkait dengan menggalakkan kembali program Keluarga Berencana, yakni:

Meningkatkan program kampanye, dengan meningkatkan cakupan dan efektifitas Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang berkesinambungan.  Lebih variatif berkampanye dengan memanfaatkan multimedia sesuai kekinian.  Melibatkan berbagai komunitas aktif masyarakat untuk kampanye. Tak ketinggalan menjadikan opinion leader  (sosial, politik  dan agama) sebagai komunikator kampanye di masyarakat. Saya ingat sekali pada awal kamapanye KB dulu, sempat mendapat tentangan dari ulama, tapi dengan pendekatan khusus akhirnya bisa diselesaikan.

Merevisi komitmen dengan seluruh jajaran pemerintah secara horizontal dan vertikal, termasuk TNI, Polri, BUMN, dan swasta. Semua harus sependapat keberhasilan Program KKB di Indonesia  selayaknya didukung semua kalangan. Saya masih ingat ketika  sebuah kawasan di Jawa Tengah, masyarakatnya mendapat bibit pohon buah bila mengikuti program KB. Tentu gerakan tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diukung semua pihak di daerah tersebut.

Membangun akses dan kualitas pelayanan KB secara merata, dengan target tertentu peserta KB baru setiap tahun. Tentunya  dengan lebih mendorong pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang  serta membina peserta KB aktif. Jangan sampai anak sudah tiga, memakai KB hanya untuk tidak hamil selama setahun, mudian dilepas, lalu hamil lagi. Pemasangan alat kontrasepsi maupun konsultasi tidak perlu dilakuan di rumah sakit, tapi bisa dilakukan lewat mobil klinik KB keliling.

Meningkatan pemahaman dan kesadaran remaja dalam kesehatan reproduksi dan penyiapan berkeluarga.  Saat ini sudah tercanangkan program Generasi Berencana yang menurut saya efektif. Diharapkan masalah angka kelahiran pada remaja usia 15-19 tahun yang tinggi yaitu 41 kelahiran per 1000 bisa ditekan.

Mengantisiapasi acaman bonus demografi dengan berbagai program yang lebih varatif dan inovatif untuk menanggulagi pemakaian narkoba, perilaku seks bebas, serta kehamilan yang tidak diharapkan. Ketiganya juga berkontribusi secara signifikan terhadap TFR.

Mengoptimalkan pendataan keluarga sebagai kontribusi kepada kementrian lain yang bertanggungjawab dengan pengentasan kemiskinan. Keluarga miskin member kontribusi  TFR lebih tinggi dari keluarga yang lebih mampu secara ekonomi.

Semoga dengan usulan-usulan tersebut Jokowi lewat kementrian BKKBN mampu menjadikan masyrakat Indonesia memiliki keluarga ideal, seperti  bait terakhir di lagu Mars Keluarga Brencana.

Putra-putri yang sehat, cerdas dan kuat

Kan menjadi harapan bangsa

Ayah-ibu bahagia rukun raharja

Rumah tangga aman sentosa

referensi: http://www.bkkbn.go.id/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun