Mohon tunggu...
AHMAD ASSAEBANI
AHMAD ASSAEBANI Mohon Tunggu... Security - Cuman Bisa Fanny

Pejuang Anti Warisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Pondok Pesantren

20 Oktober 2020   16:54 Diperbarui: 20 Oktober 2020   16:59 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Assalafi Miftahul Huda nama pesantrennya di pimpin oleh: KH. Munir Abdullah bertempat di Ngroto, Gubug, Jawa Tengah

Seperti aku 10 tahun yang lalu, saat pertama kali mengenal Pondok Pesantren dan menghabiskan hari-hariku dalam lingkaran baru yang sama sekali asing bagiku.

Deretan asrama yang berjajar-jajar, ubin-ubin kotak berwarna cokelat, tumpukan kitab yang sedikit berserakan,Dan seperti ku kira sebelumnya, sejak masuk pesantren aku tidak lagi bisa bermain-main sebebas waktu di rumah dulu. Semua aktifitas pasti dibatasi dengan jadwal-jadwal yang telah ditetapkan oleh pengurus.

Awalnya aku sendiri merasa ragu dengan keputusan ayah mengirimkanku ke pondok pesantren. Di mana ketika banyak dari temanku melanjutkan study ke sekolah-sekolah Negeri yang begengsi, sementara aku harus berpisah dengan mereka dan lebih memilih dunia baru dengan teman-teman baru yang asing bagiku.

Yang aku ingat ketika itu, beliau hanya berkata "Wes tho seng penting manut wong tuo, belajar birrul walidain"

Mungkin tak akan ada yang percaya, jika ketakutanku pada "mondok" ketika itu lebih menggelisahkanku ketimbang saat aku diantar ayah pergi ke dukun calak sebelah kampungku untuk disunat ujung dagingku.

Jika saja aku tidak ingat betapa aku meronta-ronta minta pulang waktu ayah "menilapku" sore itu, mungkin tak akan kucium punggung telapak Kang Mustofa yang saat itu dengan susah payah memegangi tanganku agar tidak "mberot" lari dari pondok sampai kemudian beliu mengajakku jalan-jalan dan menghiburku.

betapa agung teladan Kiyai-kiyai sepuh terdahulu. Saat pertama kali seorang santri meminta izin kepada sang kiyai untuk menjadi muridnya, bukan pengajian kitab yang mula-mula beliau berikan, tapi perintah untuk membersihkan got, menimba air di kolam wudu, atau menyalakan lampu setiap petang.


Dari sini, aku bisa merasakan masa-masa pahit harus berpisah dari orang tua di usia yang masih belia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun