Mohon tunggu...
Bent Hartz
Bent Hartz Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Mahasiswa yang masih menempuh studi Teknik Informatika di Universitas Ma Chung, Malang. Memiliki hobi menulis, juga salah seorang penulis di situs Wattpad berbahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Menelusuri Dillema Hukuman Mati

16 Mei 2015   04:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:59 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429703073305977244

Bagaimanakah pendapat anda tentang hukuman mati terkait dengan hak asasi untuk hidup?

Pertanyaan ini sempat bersarang di pikiran saya untuk waktu yang sangat lama, dan kebetulan hari ini pertanyaan itu ditanyakan lagi. Topik ini bukanlah hal baru. sudah lama topik ini diperdebatkan oleh banyak orang di seluruh dunia.

Saya pun mencoba menggali lagi pertanyaan yang melahirkan kubu Pro dan Kontra ini. Tentunya kedua kubu ini memiliki berbagai argumen masuk akal yang terus diulang-ulang. Salah satu argumen dari kubu kontra adalah karena hal itu melanggar hak asasi manusia.

Saya tidak akan membahas terlalu panjang tentang pengertian dari hak asasi. Secara singkat, Hak asasi adalah hak yang sudah kita miliki sejak lahir, tidak dapat menghilang ataupun berpindah ke orang lain. Kata kunci “Tidak dapat menghilang inilah yang menjadi argumen kuat bagi kubu kontra.

Hak untuk hidup sudah pasti merupakan salah satu hak yang ada dalam daftar hak asasi. Itu artinya hak ini memiliki sifat yang tidak dapat menghilang atau berpindah. Sebelumnya saya pernah berpikir, ketika seseorang merampas hak orang lain, apakah dia masih memiliki haknya sendiri? Contohnya, apakah seorang pembunuh masih memiliki hak untuk hidup? Bukankah dia sudah merampas hak hidup orang lain?

Saya sempat mengambil kesimpulan bahwa ternyata hak asasi bisa hilang ketika orang yang bersangkutan melanggar hak asasi orang lain. Tapi sekali lagi saya melihat sebuah argumen yang menyatakan bahwa “Hak asasi tidak dapat menghilang atau berpindah”. Bukankah itu artinya kesimpulan saya tentang hak yang menghilang itu tidak benar?

Hanya dari sebuah kata ”Tidak bisa menghilang” saya pun menarik teori bahwa seorang pembunuh masih memiliki hak hidup yang terus melekat pada dirinya.

Tapi tunggu dulu! Kubu pro pun punya argumen yang tidak bisa dibantah. Mereka menggunakan sebuah contoh kasus yang sangat jelas, yang masih terkait dengan pembunuhan. Salah satu kasus populer yang sering diangkat adalah keberadaan “Serial Killer” atau pembunuh berantai. Bila saya menggunakan contoh yang lebih ekstrim lagi, maka saya akan berbicara soal teroris yang sudah membunuh jutaan orang.

Misalkan dengan kemampuan saya melebih-lebihkan, saya akan memberikan contoh bahwa teroris itu bisa mempengaruhi orang lain disekitarnya agar melakukan aksi pembunuhan masal lainnya. Dengan kata lain, keberadaan dari teroris itu sendiri sudah merupakan ancaman yang sangat berbahaya. Apakah orang yang demikian tidak perlu dihukum mati?

Ketika otak saya masih berkutat pada si “pembunuh” dan hukuman mati, saya pun mulai mengembara ke kasus-kasus lain yang tidak melibatkan nyawa. Seperti misalnya narapidana yang harus terengut kebebasannya dengan berdiam dibalik jeruji.

Kalau kontra sempat bilang bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia, lalu bagaimana dengan hukuman penjara? Apakah kebebasan untuk bergerak dan berpergian bukan merupakan hak asasi?

Bila kita lihat lagi dalam daftar hak asasi, manusia pun punya hak untuk bergerak bebas. Tapi kenapa tidak pernah ada perdebatan tentang apakah hukuman penjara melanggar hak asasi manusia? Karena bukan hanya hukuman mati, hukuman penjara pun juga bisa dibilang membatasi hak asasi seseorang.

Siapa sih yang melakukan “hukuman mati” dan “Hukuman penjara”? Pemerintahkah? Negarakah? Sayangnya hukuman ini tidak hanya terbatas pada negara. Sekolah, keluarga, masyarakat, dan golongan tertentu pun memiliki hukum yang membatasi hak asasi seseorang. Misal ada hukum “Dilarang merokok”. Apakah merokok bukan merupakan kegiatan yang masuk dalam daftar hak asasi?

Dengan berbagai gambaran di atas, saya pun mulai melihat bahwa hak asasi manusia yang selama ini selalu dibahas seolah hal itu merupakan hukum yang mutlak, masih dibatasi oleh hukum-hukum lingkungan.

Dari situ, saya mengambil teori lain bahwa hak asasi tidak punya kekuatan dan bukan hukum yang mutlak.

Namun apakah benar demikian? Mari kembali pada teroris yang berbahaya. Apakah alasan teroris itu pantas mendapat hukuman mati? Karena dia membahayakan nyawa orang banyak? Karena dia melanggar hak hidup orang banyak?

Bukankah itu berarti, alasan hukuman mati memiliki kaitan yang sangat erat dengan pembelaan hak asasi? Namun hak asasi siapa yang dibela? Hak asasi orang banyak?

Nah, kalau hukuman mati adalah untuk membela hak asasi, bukankah itu berarti hak asasi merupakan dasar dari terciptanya hukuman mati? Bukankah itu berarti hak asasi merupakan hukum mutlak yang mendasari hukum lainnya?

Sebuah kata “orang banyak” membuat saya berpikir ulang. Hukuman mati teroris itu adalah untuk melindungi hak orang banyak. Tapi tetap merampas hak teroris. Bukankah itu berarti hukuman mati yang didasarkan pada hak asasi ini masih terpengaruh pada hak mayoritas.

Dari sini saya pun mengeluarkan teori berikutnya dimana selalu ada hak yang harus dikorbankan. Namun hukum yang berlaku memastikan bahwa lebih sedikit hak yang harus dikorbankan ketimbang yang harus dipertahankan. Dalam contoh di atas, hak hidup sang teroris harus dikorbankan agar hak hidup banyak orang dapat diselamatkan. Teori ini bisa juga saya singkat dengan istilah “Mengorbankan hak asasi”.

Ketika hak mayoritas orang mulai terancam, maka si pengancam harus dikorbankan haknya demi menjaga hak mayoritas. Begitu pula dengan narapidana yang harus terengut kebebasannya dengan berada di balik jeruji.

Apakah alasan seseorang dipenjara? Karena melanggar hak asasi orang lain? Kenapa dia harus dipenjara setelah melanggar hak asasi orang lain? Agar dia jera dan tidak melakukan pelanggaran lagi? Kenapa dia harus dibuat jera? Supaya tidak mengulangi pelanggarannya lagi? Supaya banyak orang yang takut melanggar hak orang lain?

Itu artinya, hukum penjara yang jelas-jelas merengut kebebasan sang narapidana adalah untuk menjaga keharmonisan hak asasi orang banyak. Namun demi terjaganya keharmonisan itu, hak sang pelanggar harus dikorbankan.

Bila kita pikir kembali, apakah benar tidak ada cara yang mengakomodasi hak semua pihak tanpa Mengorbankan hak orang tertentu?

Sayangnya saya belum menemukan jawaban untuk pertanyaan yang satu ini. Apa yang selalu saya lihat di dunia ini adalah perlunya  pengorbanan dalam mencapai kesejahteraan dan keharmonisan.

Apa yang mampu saya telusuri saat ini hanyalah tiba pada pembahasan seputar “Pengorbanan Hak Asasi”.

Bagaimana dengan pendapat anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun